Dalam sejarah Eropa abad XVIII ada sebuah frasa Latin terkenal berbunyi Sapere Aude! Yang artinya hendaklah Anda berani berpikir sendiri! Atau dalam terjemahan yang lebih luwes berarti keberanian untuk mengetahui sesuatu. Sapere Aude! lahir dalam era yang dikenal sebagai zaman Aufklärung atau zaman pencerahan yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai masa pertobatan manusia yang mulanya tidak menggunakan akal budinya menjadi menggunakan akal budinya.
Aufklärung membawa semangat peralihan dari kepercayaan-kepercayaan tradisional menjadi lebih modern hingga memisahkan pengaruh keagamaan dalam pemerintahan. Aufklärung juga menjadititik awal kesadaran masyarakat akan pentingnya diskusi-diskusi dan pemikiran ilmiah yang kemudian menjadi fondasi peradaban maju Eropa.
Sekalipun Aufklärung dianggap sebagai momentum awal perkembangan pesat pengetahuan yang ditandai penemuan-penemuan ilmiah yang hampir terjadi setiap tahun dan juga munculnya gagasan-gagasan baru yang mempengaruhi sistem politik. Sindhunata dalam Teori Kritis Sekolah Frankfurt (2019) menyebutkan kalau sejak dua ribu lima ratus tahun yang lalu ketika pemikiran masih diliputi mitos dan takhayul telah terjadi masa pencerahan, yaitu saat filsuf-filsuf perdana mampu memberikan pengertian rasional mengenai asal-muasal semesta. Bahkan menurut Yuval Noah Harari kemunculan berpikir kritis itu sudah dimulai sejak tujuh puluh ribu tahun silam dalam Revolusi Kognitif yang muncul dari mutasi tanpa sengaja otak Sapiens yang membuatnya mampu berpikir (Harari, 2017).
Namun sejarah panjang ajakan berakal budi dan bernalar melalui seruan Sapere Aude! itu hari ini mulai berlawanan kutub. Makna Anda (manusia) dalam “Hendaklah Anda berani berpikir sendiri!” nampaknya menjadi anda (mesin) melalui penemuan artificial intelligence (kecerdasan buatan) dalam mazhab Revolusi Industri 4.0 yang diyakini oleh mayoritas pelaku industri mutakhir sebagai kebaruan berpikir dan bekerja.
Untuk dapat ambil bagian dalam bernalar dan berpikir melalui kecerdasan buatan itu, Indonesia merilis roadmap “Making Indonesia 4.0” pada tahun 2018 yang sebelumnya dibuat oleh Thailand lewat “Thailand 4.0” pada 2016. Demikian juga “Inclusive Innovation Industrial Strategy” oleh Filipina dan “National Industry 4.0 Policy Framework” oleh Malaysia.
Namun artificial intelligence yang mampu “bernalar” sesuai perintah operatornya justru dijadikan alat memperkeruh komunikasi media sosial dengan memanfaatkannya sebagai bot berupa akun-akun palsu media sosial yang dapat diperintah secara masif dan massal untuk mempopulerkan isu-isu tertentu yang sering kali bertentangan dengan kedamaian dan kesatuan NKRI.
Isu-isu di jagat maya yang terkadang dimulai dari bot itu kemudian menjadi opini publik yang kemudian mengemukakan perbedaan pendapatnya melalui media sosial dengan cara serampangan. Artinya, kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang namun disampaikan tanpa validasi data dan fakta. Kebebasan berpendapat yang diartikan sebagai bebas berpendapat apa saja tanpa berpikir efek dari pendapat yang sering kali memprovokasi.
Kebebasan berpendapat tanpa nalar manusia itu yang kemudian menjadi poros-poros pertentangan yang menghasilkan hasutan, caci maki, fitnah, dan pendapat asbun lainnya. Atas kesadaran bahwa poros-poros pertentangan itu tidak lahir secara mandiri melainkan sengaja diproduksi oleh kelompok-kelompok tertentu, pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pada 2008 untuk memberi aturan main para pegiat media sosial.
Namun UU ITE justru menjadi pisau bermata dua, alih-alih mampu meredam provokasi-provokasi melalui media sosial, UU ITE justru menjadi senjata menyerang lawan. Sebab tanpa kemandirian bernalar, UU ITE malah digunakan memenjarakan siapa saja yang berbeda pendapat dengan alasan pencemaran nama baik dan penghinaan tanpa adanya standar hukum yang kuat dan pasti. Sehingga kehadiran aturan main yang digunakan juga dengan cara serampangan ini justru makin memperkeruh kebebasan berpendapat karena masing-masing kelompok saling melaporkan dan melaporkan balik lawannya.
Rencana revisi UU ITE pun akan sia-sia belaka jika nalar pelaku media sosial masih cekak dan meletakkannya pada nalar buatan, Dibutuhkan seruan Sapere Aude! agar masyarakat pelaku media sosial mampu memiliki kemandirin berpikir dan bernalar secara mandiri. Misalnya Sapere Aude! versiThe Future of Jobs Report 2020 dari World Economic Forum yang mengajak kita menghadapi masa depan dengan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, berpikir analitis, inisiatif, kreatif, daya tahan psikologis terhadap stres, serta kemampuan bernalar. Sehingga pada masa pandemi yang serba susah ini justru dapat menjadititik awal kesadaran masyarakat akan pentingnya diskusi-diskusi dan pemikiran yang mengasah nalar yang kemudian menjadi fondasi peradaban maju Indonesia.