Maya

Maya

- in Narasi
1049
0
Maya

Tak banyak orang yang sadar bahwa di hari ini kita tak tengah hidup belaka di dunia yang disebut sebagai kenyataan. Apa yang nyata, bagi pola pikir seperti ini, cukup berkaitan dengan tubuh. Sehingga terkadang banyak ungkapan tolol yang memalukan dengan menisbikan peran dunia lainnya yang di hari ini tak lagi terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari kita: dunia maya.

“Maya,” dari istilah sansekerta ini, sebenarnya cukup dapat dipahami tentang hakikat dan cara kerja dunia digital. Konon istilah “maya” mengacu ke hal-hal yang tak sejati atau sekedar bayangan dari kesejatian. Agama dan berbagai sistem spiritual yang ada bersandar pada oposisi biner semacam ini yang terkadang, dalam periode sejarah tertentu, memunculkan penisbian daging atas jiwa.

Tepat di sinilah, saya kira, dasar tentang eksistensi dunia maya atau dunia digital di hari ini sudah sejak lama hadir menjadi pola pikir manusia di Bumi ini. Artinya, materialisme—sejauh diartikan sebagai sebentuk pemahaman yang melebihkan benda padat yang dapat diukur—menjadi sesuatu yang problematis secara kesejarahan. Benarkah ia menjadi pola pemahaman yang sudah sejak lama mengiringi kehidupan manusia sebagaimana disertasi Karl Marx tentang Demokritos? Dapat dielaborasikan lebih lanjut, siapakah yang sesungguhnya sudah usang ketika dikaitkan dengan eksistensi dunia maya di hari ini, Hagel atau justru Marx?

Keseriusan pola pikir banyak agama dan sistem spiritual pada yang maya, dan fakta akan eksistensi dunia maya atau digital di hari ini yang tak dapat dihindari, pada akhirnya seperti menolak ungkapan-ungkapan materialistik konyol yang telah terbuktikan tak berasal dari pola pemahaman tradisional—atau setidaknya tak hadir sebagai sebentuk aksi, tapi adalah sebentuk reaksi. Kenyataan, atau apa yang nyata, pada akhirnya merupakan sesuatu yang tak dapat dipisahkan. Sebab, dengan adanya UU ITE misalnya, hukuman atas para pelanggar melibatkan tubuh atau barang-barang yang dapat diukur pula. Demikianlah, saya kira, semestinya kita memandang hal-hal yang bersifat spiritual sebagaimana yang disuguhkan banyak agama dan sistem spiritual.

Mengingat pola pemahaman tersebut, maka UU ITE yang telah disahkan dan berlaku sejak 2008 menjadi dapat dipahami. Dan seperti orang yang beragama ataupun berspiritualitas secara ideal pula, yang terpenting di atas semuanya adalah bagaimana kita melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan yang diserukan oleh berbagai agama dan sistem spiritual tanpa mereka perlu menyeru terlebih dahulu. Kedewasaan seseorang, konon, dapat diukur dari kemampuannya untuk “tanggap ing sasmita” atau peka terhadap berbagai isyarat. Tanpa perlu menyuruh-nyuruh dan melarang, orang yang bersangkutan sudah melakukannya.

Tapi jelas, “tanggap ing sasmita” tersebut merupakan sebentuk idealitas yang terkadang tak segampang realitasnya. Itulah kenapa eksistensi para agamawan sebagai warasatul anbiya’, para rsi, atau yang sejenisdalam bidang keagamaan menjadi dapat dipahami. Manusia memang sangat jauh dari tipe idealnya, tempat segala lalai dan kesalahan, sehingga diperlukan para pendidik atau berbagai aturan untuk mengingatkan mereka akan segala potensi kebaikan yang dimiliki. Pada akhirnya, dalam logika ini, manusia bukanlah sesosok Abu Nuwas yang berharap akan iba Tuhan atas segala kekurangannya. Tapi, ia adalah seorang yang mesti tak manja dimana surga dan neraka, keselamatan dan hukuman, tergantung pada dirinya (“Dhewek” dan Teologi Ketakmanjaan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Raison d’être UU ITE, atau berbagai aturan yang sejenis, memang pada dasarnya menolak sikap mengiba sebagaimana yang ditunjukkan oleh Abu Nuwas. Sebab, sisi gelap teologi kemanjaan semacam itu justru akan menghilangkan tanggung-jawab personal seorang manusia dan berpotensi akan menyurungkannya ke sikap sakenake udele dhewe yang jauh lebih parah.

Perbedaan antara apa yang pernah saya sebut sebagai “teologi kemanjaan” yang pada akhirnya berkonotasi gerombolan, berbarengan ataupun berjamaah yang mereduksi manusia sebagai “Seelenfünklein (percikan ruh) dalam istilah Meister Eckhart, dan “teologi dhewekan” sebenarnya adalah perbedaan antara pola pikir oposisi biner dan pola pikir organik. Seandainya memakai pola pikir teologi kemanjaan Abu Nuwas seumpamanya, dunia nyata adalah berbeda dengan dunia maya sehingga UU ITE yang kini akan direvisi, yang sebenarnya ingin menggali, mengembangkan, dan mengangkat potensi kebaikan manusia tak lagi penting. Padahal, sebagaimana yang telah saya bahas, bahwa dunia maya ternyata sama sekali tak terpisahkan dari apa yang pernah dianggap sebagai dunia nyata. Dalam logika ini, neraka pada dasarnya tak semata dapat dimaknai sebagai sebuah locus yang berada di latar depan, tapi sebuah “kahanan” yang berimbas pada locus kekinian. Taruhlah orang-orang yang tengah menderita sakit hati, bukankah segalanya akan tampak dan terasa seperti neraka?

Dengan demikian, dengan logika organik, di samping pendidikan dan pemberdayaan literasi masyarakat terkait dengan dunia maya, UU ITE tetaplah penting untuk diberlakukan mengingat “sikap manja” yang terbukti sudah tak dapat dipertanggungjawabkan lagi di zaman ini dan terbukti pula kontraproduktif bagi segala potensi kemanusiaan dimana salah satunya disaranai oleh berbagai hukum ataupun tata perundangan yang ada.

Facebook Comments