Sekali Lagi, UU ITE dan yang Hilang dari Netizen, Etika!

Sekali Lagi, UU ITE dan yang Hilang dari Netizen, Etika!

- in Narasi
1177
0
Sekali Lagi, UU ITE dan yang Hilang dari Netizen, Etika!

Hampir semua orang di Indonesia, terutama generasi muda, mempunyai media sosial dan aktif di media sosial, baik hanya sekedar mencari informasi atau turut memproduksi konten dan membagikan konten yang ada di media sosial. Pengguna media sosial yang tumbuh pesat itu, menjadikan masyarakat berubah.

Perubahan itu terjadi, antara lain, pada pola konsumsi informasi yang semula di dapatkan dari sumber yang terbatas, sekarang—di era media sosial—sumber informasi itu bisa diakses dengan mudah, bahkan real time. Pertumbuhan pengguna media sosial (medsos) yang tinggi juga menjadikan dunia maya sebagai ruang yang tak terpisahkan dalam kehidupan.

Ruang baru yang bernama dunia maya itu memang di satu sisi sangat memudahkan orang atau kelompok bertukar pikiran dan informasi. Namun di sisi yang lain, ruang maya banyak disalah-gunakan. Perang terbuka yang diiringi dengan sumpah serapah dan hinaan adalah fenomena yang lazim kita jumpai di belantara dunia maya saat ini.

Etika bermedia sudah menjadi nomor sekian. Yang menjadi prioritas utama bagi netizen adalah menyalurkan hasrat dan egonya masing-masing. Saling hujat dan menebar kebencian yang dibumbui dengan kata-kata sadis dan kotor adalah ujung dari semua itu. Ruang maya sungguh tak lagi sehat. Konten edukasi dan menyejukkan kalah ‘pamor’ dengan perang terbuka antar netizen.

Netizen Indonesia Paling Tidak Sopan Se-Asia Tenggara

Baru-baru ini, kita dikejutkan oleh laporan yang dikeluarkan oleh Microsoft. Laporan tahunan Microsoft itu, antara lain, menyoroti tentang perilaku seseorang di media sosial. Mengukur tingkat kesopanan netizen atau pengguna internet menjadi salah satu fokus kajian Microsoft. Laporan itu dikemas dalam tajuk “2020 Digital Civility Index (DCI).”

Netizen Indonesia termasuk yang diteliti oleh Microsoft dan dalam laporan itu disebutkan Indonesia menempati rangking bawah. Secara global, Belanda menjadi negara dengan netizen yang paling sopan (rangking pertama). Sementara di tingkat Asia Tenggara, Singapura berada di posisi nomor satu dan keempat secara global.

Alih-alih mendapatkan rangking lima besar, Indonesia justru menempati rangking ke-29 dari 32 negara yang diteliti oleh Microsoft. Sehingga posisi Indonesia terbawah di Asia Tenggara. Memalukan, bukan? Tapi itulah hasil survei lembaga profesional yang mempunyai reputasi mentereng di tingkat dunia.

Studi yang diselenggarakan antara bulan April sampai Mei 2020 dengan melibatkan 16 ribu responden itu sesungguhnya menampar bangsa Indonesia. Sehingga, hal itu harus dimaknai sebagai cambukan untuk meningkatkan kesadaran pentingnya etika dalam bermedia. Etika bermedia ini penting untuk menjaga kondusifitas dan produktifitas media sosial. Ruang maya yang sehat, edukatif dan inspiratif harus diciptakan oleh bangsa Indonesia.

Menarik mengulas sedikit tentang hasil survei Microsoft di atas. Dalam survei itu disebutkan bahwa tiga risiko online terbesar ketika menjadi netizen di Indonesia adalah hoax dan scam (bertambah 13 poin), ujaran kebencian (bertambah 5 poin), dan diskriminasi (berkurang 2 poin). Memang, jika sejenak mengamati ruang maya hari ini, serasa penelitian itu benar adanya.

Kita bisa dengan mudah menyebutkan dan menyaksikan betapa ujaran kebencian dan hoaks terus menghujani langit-langi media sosial hari ini. Kegaduhan dan hati menaruh rasa saling curiga antar anak bangsa akan muncul manakala kita menyimak beranda-beranda group di medsos. Kebebasan ekspresi menjadi keblablasan.

UU ITE dan Ruang Maya yang Sehat

Ruang maya yang begitu bebas dan liar serta banyaknya penyalahgunaan media sosial, perlu disikapi secara serius oleh pemangku kepentingan. Dalam hal ini, hadirnya UU ITE sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mengurangi potensi penyalahgunaan ruang maya tersebut.

Menurut UU No 19 Tahun 2016 sebagai Perubahan Atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), ada lima pasal yang mengatur etika bermedia sosial, mulai pasal 27 sampai 30. Baik menyangkut konten yang tidak selayaknya diunggah maupun penyebaran hoaks dan ujaranujaran kebencian, termasuk juga menjebol data tanpa izin.

Tegas kata, apabila UU ITE ini tidak ada, tentu saja netizen Indonesia akan bebas, semaunya sendiri. Tetapi dengan adanya UU ITE, sesungguhnya supaya masyarakat bijak dalam menggunakan media. Yakinlah bahwa selama Anda sebagai netizen menggunakan media sosial dengan penuh etika, maka tidak akan terjerat UU ini.

UU ITE juga sebagai upaya untuk menemukan (kembali) nilai-nilai atau etika yang diwariskan oleh leluhur bangsa ini pun yang diajarkan oleh agama. Nilai etika yang semakin lama semakin hilang itu harus tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Dengan demikian, pengguna media sosial (netizen) dihimbau untuk memperhatikan etika dalam bermedia. Tentu selain untuk menciptakan ruang maya yang sehat, juga agar tidak menyesal di belakangan lantaran terjerat hukum.

Berbagai informasi dan mengomentari sesuatu yang terjadi di republik ini adalah kegiatan yang positif dan masyarakat harus aktif dalam hal-hal seperti ini. Akan tetapi, etika harus dijunjung tinggi. Pahami etika bermedia sosial dan bijaklah dalam bermedia!

Facebook Comments