5 Poin dari Ahmad Nurwahid untuk Penulis Narasi Anti Radikalisme

5 Poin dari Ahmad Nurwahid untuk Penulis Narasi Anti Radikalisme

- in Narasi
1613
0
5 Poin dari Ahmad Nurwahid untuk Penulis Narasi Anti Radikalisme

Kerja menangkal radikalisme-terorisme harus dilakukan dari berbagai lini kehidupan. Di era digital sekarang, upaya menangkal penyebaran paham radikalisme juga harus dilakukan di dunia maya. Caranya dengan menyebarkan narasi-narasi perdamaian, toleransi, persaudaraan, keberagamaan moderat, sebagai kontra radikalisme.

Hal tersebutlah yang disampaikan oleh R. Ahmad Nurwahid, Direktur Pencegahan BNPT dalam acara Sharing Session kontributor jalandamai.org pada 3 Maret 2021. Di dalam acara yang diselenggarakan secara online tersebut, para kontributor jalandamai.org berkesempatan berdisukusi tentang bagaimana menghasilkan konten atau narasi anti radikalisme yang efektif dan efisien.

Di awal acara Sharing Session, R. Ahmad Nurwahid Direktur Pencegahan BNPT memberikan lima poin penting yang bisa dijadikan inspirasi para penulis dalam membuat konten atau artikel kontra narasi radikalisme. Lima poin berikut ini juga merupakan kekuatan bangsa Indonesia yang menjadi faktor mengapa bangsa ini bisa tetap berdiri kokoh hingga sekarang.

Pertama, Pancasila. Ahmad Nurwahid mengungkapkan betapa hebatnya para pendiri bangsa kita yang telah merumuskan Pancasila. Pancasila terbukti menjadi ideologi pemersatu bangsa di tengah segala keragaman bangsa Indonesia. Pancasila terbukti mampu menjadi wadah yang mengikat keragaman bangsa Indonesia, sehingga bangsa ini bisa tetap kokoh berdiri dan tidak terpecahbelah hingga sekarang.

Ahmad Nurwahid membandingkan Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah yang dilanda konflik dan perpecahan, padahal suku bangsa mereka tidak sebanyak di Indonesia. “Pancasila itu luar biasa, kalau keliling ke luar negeri baru berasa hebatnya,” kata Ahmad Nurwahid.

Kehebatan Pancasila bisa digali, dikembangkan, untuk dijadikan sumber inspirasi menciptakan narasi perdamaian. Nurwahid juga menegaskan bahwa Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama apa pun di Indonesia. Pancasila justru selaras dengan spirit agama bertujuan menciptakan kehidupan aman, damai, adil, makmur, dan sejahtera. “Tolong digali, dikembangkan, dinarasikan, tentang kehebatan Pancasila, bahwa mengamalkan pancasila itu hakikatnya mengamalkan agama,” katanya.

Kedua, kearifan lokal. Bangsa Indonesia kaya akan kearifan lokal yang sudah mengakar kuat menjadi karakter dan jati diri bangsa. Nilai-nilai seperti gotong royong, tradisi kenduri, yasinan, halal bi halal, silaturrahmi, hingga sedekah bumi, merupakan representasi karakter masyarakat Nusantara yang menjunjung tinggi kebersamaan, gotong royong, saling bantu, dan menghormati.

Berbagai tradisi lokal selama berabad-abad mampu menciptakan masyarakat yang harmonis tersebut harus terus dijaga demi jati diri bangsa. Bagi para penulis, kearifan lokal harus terus dimaknai dan dijadikan inspirasi untuk membendung derasnya nilai-nilai dan ideologi dari luar, termasuk ideologi transnasional seperti radikalisme-terorisme.

Menurut Nurwahid, kearifan dan tradisi lokal ini kerap kali diserang kelompok radikalisme agama. Mereka gampang mem-bid’ah-kan, bahkan melarang berbagai tradisi yang sudah ada di masyarakat. Padahal jelas-jelas tradisi tersebut sudah diformulasikan oleh para wali dan ulama zaman dahulu dalam dakwah agama yang damai dengan pendekatan budaya.

Ketiga, Indonesia punya civil society moderat yang kuat. NU dan Muhammadiyah misalnya, menjadi ormas Islam terbesar di Indonesia berkomitmen pada jalan keberagamaan Islam yang moderat, toleran, dan damai. NU dan Muhammadiyah, jelas Nurwahid, meminjam ungkapan KH Hasyim Muzadi, adalah produk lokal, yang sudah jelas akan mengutamakan kepentingan rakyat atau bangsa Indonesia.

Hal tersebut berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang kadang merupakan “produk asing”, sehingga kerap membawa kepentingan asing yang mengancam eksistensi dan jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, civil society yang moderat harus terus diperkuat dan digandeng dalam upaya-upaya menangkal paham radikalisme-terorisme.

Keempat, Indonesia punya TNI dan Polri yang kuat dan solid. TNI dan Polri adalah garda terdepan penjaga keamanan dan kedaulatan NKRI. Maka, menurut Nurwahid, keduanya harus solid dan tidak mudah diadu domba. Mengadu domba antara TNI dan Polri adalah salah satu cara kelompok radikal-terorisme untuk menciptakan konflik dan disintegrasi bangsa dan negara.

Selain itu, kelompok radikal-terorisme juga menyebarkan narasi anti pemerintah. Nurwahid menjelaskan, selain sikap intoleran, gejala awal radikalisme adalah sikap anti pemerintah yang sah. Di sini, anti pemerintah berbeda dengan oposisi. Oposisi itu penting dalam negara demokrasi sebagai penyeimbang. Tapi sikap anti pemerintah itu berbeda.

“Anti bukan berarti oposisi, kritik boleh untuk kebaikan dan membangun. Kalau sikap anti pemerintah, pemerintah itu pokoknya salah. Tujuan mereka (kelompok radikal) memang membuat konflik, mengadu domba,” kata Nurwahid menjelaskan.

Kelima, masyarakat kita senang dengan cerita. Oleh karena itu, Nurwahid memberi masukan ke para penulis agar bisa membuat narasi perdamaian dalam format cerita. Artikel bentuk naratif atau bercerita diharapkan membuat masyarakat tertarik sehingga nilai-nilai perdamaian dan spirit anti radikalisme mudah tersebar di masyarakat.

Hal ini jugalah yang disadari kelompok radikal-terorisme pengusung khilafah. Mereka kerap membawa cerita kejayaan kekhalifahan Islam zaman dahulu ke masyarakat agar tertarik dengan khilafah. Padahal Indonesia sendiri punya sejarah yang juga luar biasa di zaman dahulu seperti di masa-masa kejayaan kerajaan. “Indonesia punya modal sejarah hebat, punya DNA bangsa hebat,” kata Nurwahid.

Jadi, kita harus yakin dan percaya diri dengan jati diri, sejarah, dan apa yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia. Bangsa besar yang punya sejarah panjang, para pendiri bangsa yang hebat berpikiran besar, yang mewariskan falsafah dan dasar negara yang luar biasa bernama Pancasila.

Facebook Comments