Bahayanya Hibrida Salafi-Wahabi dan Radikalisme di Indonesia

Bahayanya Hibrida Salafi-Wahabi dan Radikalisme di Indonesia

- in Narasi
1390
0
Bahayanya Hibrida Salafi-Wahabi dan Radikalisme di Indonesia

Jika kita amati, gerakan Radikalisme dan Salafi-Wahabi di Indonesia sejatinya memiliki corak-karakter yang berbeda. Salafi-Wahabi lebih menonjol kepada hal-hal yang sifatnya peribadatan formal. Mereka condong eksklusif, tekstualis dan keras. Mereka anti-tradisi kultural dan menolak semua ajaran di luar aliran mereka. Sedangkan kelompok Radikalisme-Terorisme, mencoba untuk “melegitimasi” serpihan agama-Nya untuk berbuat kerusakan dan menunjang kekuatan politik-identitas demi mengejar kekuasaan secara geografis di Indonesia.

Perbedaan arah dan karakter keduanya bukan berarti mereka tidak sejalan. Karena dua karakter ini pada akhirnya akan mengalami semacam “hibrida politik”. Membentuk kekuatan dengan melakukan semacam perkawinan secara ideologis. Mereka bergerak dan menaruh nasib bersama untuk berupaya membangun sebuah kekuatan yang sifatnya militan dan transparan di berbagai lini.

Fenomena hibrida politik ini sebenarnya pernah terjadi di zaman Ibnu Saud. Ketika menjadi penguasa di Najd pada tahun 1932-1953. Ibnu Saud meminta kompensasi jaminan kepada Ibnu Abdul Wahab (pimpinan Wahabi) agar bisa leluasa mengambil upeti. Hibrida Politik koalisi keduanya terbangun secara kokoh dan permanen. Bagaimana Salafi-Wahabi sebelum bergabung dengan kekuasaan Ibnu Saud. Kelompok ini hanya bisa eksis dalam pelataran “bersuara” untuk mengkafir-kafirkan, mebid’ah-bid;ah-kan orang yang ada di luar kelompok Salafi-Wahabi.

Namun, setelah kekuasaan Ibnu Saud menjadi kendali secara politik dan menopang kekuatan Salafi-Wahabi. Niscaya kelompok Salafi-Wahabi yang dipimpin oleh Abdul Wahab tersebut, dengan leluasa membenuk gerakan melakukan kekerasan, intimidasi dan melakukan pembantaian secara massal kepada mereka yang berbeda aliran-pemahaman dengan Salafi-Wahabi.

Seperti hal-nya yang dikisahkan dalam kitab Unwan al-Majd fi Tarikh an-Najd. Sekitar tahun 1802 Masehi/1217 Hijriah, kelompok Salafi-Wahabi menyerbu dan membantai semua penduduk Karbala yang mereka temui di segala tempat dan kondisi. Karena semua masyarakat karbala dianggap menyimpang dan wajib dibasmi.

Tentu perkawinan antara politik kekuasaan Ibnu Saud dengan pemahaman Salafi-Wahabi ini menjadi satu catatan penting bagi bangsa ini. Bagaimana metode kekuatan politik-keagamaan semacam itu kembali muncul di negeri ini. Melalui perkawinan antara radikalisme-salafi-wahabi yang akan membangun kekuatan secara politik untuk menguasai secara stabilitas-geografis. Serta menggenjot pemikiran dan pemahaman keagamaan masyarakat untuk bergerak eksklusif, radikal, kaku, biadab dan tidak bersahabat.

Jika keduanya antara radikalisme dan salafi-wahabi dibiarkan hidup di negeri ini, maka pembantaian massal layaknya di Karbala itu akan kembali terjadi di negeri ini. Karena semua orang yang tidak sejalan dengan apa yang mereka katakan sebagai “kebenaran mutlak” ajaran agama yang mereka miliki. Mereka yang berbeda agama, aliran dan tradisi akan dianggap kafir, sesat, murtad dan boleh diperangi. Sehingga, mereka akan berkuasa secara politik dan keagamaan.

Karena di satu sisi, Salafi-Wahabi “menggenjot” pemikiran masyarakat Indonesia untuk keras dan menolak ajaran Tauhid dan ibadah formal yang di luar ajaran mereka. Semua diberikan label murtad, sesat, syirik, kafir dan boleh diperangi. Karena predikat keislaman, secara eksklusif dan mutlak kebenarannya hanya miliki pengikut Salafi-Wahabi. Klaim semacam ini dijelaskan secara eksplisit dalam kitab Unwan al-Majd fi Tarikh an-Najd.

Di sisi lain, kelompok Radikalisme-Terorisme di Indonesia mengambil peran untuk membangun kesadaran keagamaan yang sifatnya politis. Layaknya pentingnya negara khilafah, negara berbasis syariat dan negara yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan hadits. Mereka membangun semacam “optimisme bernegara” dengan syarat, harus menegakkan konsep negara berbasis agama. Mereka membangun temperatur sosial bagaimana orang yang menolak dianggap “menentang ajaran-Nya” dan dianggap kafir dan wajib dibasmi pula.

Dua karakter yang memainkan wilayah politik-keagamaan ini sangat berbahaya bagi tatanan negeri ini. Bagaimana basis keagamaan yang sifatnya eksklusif, keras dan menolak di luar ajaran kelompok Wahabi. Itu sangat membahayakan secara kultural jika ditopang oleh adanya kepentingan-kepentingan yang sifatnya politis. Kayaknya kaum radikalisem-terorisme yang berperan dan gencar meneriakkan ajaran-ajaran keagamaan yang dijadikan alat untuk membangun penguasaan secara wilayah. Khusus-nya di negeri ini yang tengah berada dalam bayang-bayang keduanya.

Maka sebenarnya sangat sejalan dengan sejarah terbentuknya ormas NU yang dinahkodai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Karena Nahdlatul Ulama sebagai organisasi perlawanan terhadap Kaum Salafi-Wahabi. Termasuk juga kelompok radikalisme yang tengah gencar ingin menghancurkan negeri ini. Mereka keduanya secara kultural menolak adanya keragaman dan tradisi yang berkembang demi kontestasi politik-keagamaan.

Karena sangat berbahaya, jika basis keagamaannya dikuasai atau dinahkodai oleh kelompok Salafi-Wahabi. Sedangkan sistem politik-kenegaraan dikuasai oleh kelompok radikalisme di negeri ini. Keduanya menjadi satu dan menjadi ancaman bagi tatanan negeri ini. Mereka berdua akan membangun kekuatan bersama melalui jalur “perkawinan” atau hibrida kekuatan politik-keagamaan.

Facebook Comments