Musuh dalam Selimut Demokrasi : Belajar dari Geliat Salafi di Jerman

Musuh dalam Selimut Demokrasi : Belajar dari Geliat Salafi di Jerman

- in Narasi
1392
0
Musuh dalam Selimut Demokrasi : Belajar dari Geliat Salafi di Jerman

Jerman resmi melarang tiga kelompok salafi yang ditenggerai menyebarkan ajaran yang ingin menggulingkan demokrasi dan menerapkan hukum Syariah. Ketiga kelompok itu dalah DawaFFM, Islamische Audios, serta An-Nussrah. Larangan ini berlaku di negara bagian Hesse dan North Rhine-Wesphalia.

Langkah pelarangan ini adalah bagian dari rangkaian kebijakan yang dilakukan otoritas Jerman dalam meningkatkan pengawasan terhadap kelompok salafi di negara tersebut. Menteri dalam Negeri Jerman, Hans-Peter Friedrich menegaskan bahwa salafisme tidak sesuai dengan tatanan demokrasi. Kelompok ini bergerak agresif untuk mengubah tatanan masyarakat dari demokrasi menuju sistem salafi dan dari supremasi hukum menunju hukum Syariah.

Ini tentu bukan kali pertama negara ini mengeluarkan kebijakan yang menempatkan kelompok salafi sebagai ancaman. Pada tahun 2016, Kementerian Dalam Negeri Jerman melarang Yayasan “Die Wahre Religion” (agama yang Benar), bagian dari gerakan salafi yang mengorganisir aksi pembagian al-Quran. Dari data Intelijen Jerman yayasan tersebut mempromosikan ideologi menggulingkan tatanan konstitusional, mendukung jihad bersenjata dan membentuk tempat perekrutan dan pengumpulan para jihadis yang ingin berangkat ke suriah dan irak.

Kelompok salafi banyak yang menjadi radikal dan memutuskan pergi ke Suriah dan irak pada masa kejayaan ISIS waktu itu. Tercatat 300 warga Jerman berangkat ke Suriah dari kelompok salafi ini. Dan hampir semua teror dan percobaan teror mengatasnamakan Islam di Jerman dilakukan oleh kelompok salafi radikal.

Dalam catatan pemerintah Jerman memang tidak semua kelompok salafi adalah radikal dan menjadi teroris. Namun, hampir semua pelaku teroris berasal dari kelompok salafi radikal ini. Dalam catatan yang dilakukan oleh pemerintah Jerman, kelompok salafi terbagi dua. Pertama yang berorientasi spiritual-individual dengan hanya mengidamkan praktek zaman Rasululah sebagai tuntunan ritual dan moral.

Kedua, kelompok yang berorientasi sosial-politik yang ingin menegakkan teokrasi dengan menolak konstitusi duniawi dan yang berlaku hanya kontsitusi Allah yakni syariat Islam. Kelompok kedua inilah yang menampilkan Islam sebagai ideologi politik dan berorientasi jihadis. Mereka siap menggunakan kekerasan untuk mencapai visi negara Islam sesuai interpretasi mereka.

Saat ini pemerintah Jerman berhadapan dengan kontestasi ideologis di kalangan generasi muda. Kelompok salafi sangat cerdas dan cerdik menyebarkan dan mengajak generasi muda Jerman dalam barisan kelompok ini. Jika anak muda mencari informasi tentang Islam dengan bahasa Jerman, lima dari sepuluh informasi itu terafiliasi dengan kelompok salafi. Bukan mereka banyak tapi mereka cerdas dalam memoles kebutuhan keagamaan anak muda. Mereka dengan mudah dan tegas memberikan hukum apa yang dilarang apa yang boleh dan apa yang halal dan apa yang haram.

Belajar dari kegagapan Pemerintah Jerman dalam menghadap kelompok salafi ini patut menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Muslim di Jerman tentu bukan mayoritas. Nuansa keagamaan di negeri tersebut mungkin tidak semeriah seperti di Indonesia. Namun, bayangkan mereka mampu memanfaatkan demokrasi yang menjadi musuh mereka sebagai tempat berlindung, berjejaring dan melakukan perekrutan.

Kelompok salafi mengharamkan demokrasi tetapi sesungguhnya mereka sedang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh sistem tersebut. Jika suatu saat terkumpul kekuatan besar mereka akan melakukan gerakan agresif dan masih untuk menggantikan konsititusi negara di manapun mereka berada, termasuk di Indonesia.

Jerman tentu melakukan upaya pencegahan dengan membubarkan sejak awal kelompok dan gerakan salafi yang mengarah pada tindakan radikal. Tentu saja itu sebuah kebijakan negara yang harus diambil dalam rangka menjaga persatuan dan kedaulatan yang diancam oleh musuh dalam selimut demokrasi.

Pun juga yang terjadi di Indonesia. Banyak gerakan salafi di Indonesia yang menjamur dari kegiatan offline hingga online. Mereka membangun jejaring dakwah yang masif dengan event yang menarik dan ustadz yang memukau. Mereka memberikan cara hitam dan putih dalam beragama sehingga mudah dicerna sebagai kebutuhan anak-anak milenial yang membutuhkan ketegasan. Bagi anak muda yang menarik adalah apakah ini halal atau haram? Apakah ini islami atau kafir? Apakah ini tuntutan Nabi atau bid’ah?

Saya tidak ingin mengatakan bahwa salafi dakwah adalah radikal. Namun, sebagaimana yang terjadi di Jerman dan di Indonesia seluruh individu dan kelompok radikal terorisme mengatasnamakan Islam berawal dari pemikiran dan pemahaman salafi. Jika demikian, sesungguhnya masuk dalam lingkaran kelompok salafi ini menjadi cukup rentan tergelincir dalam jejaring salafi radikal yang mengarah pada tindakan terorisme.

Atas pertimbangan itulah, saya menjadi terang apa yang diusulkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj untuk menutup media dan akun wahabi adalah bagian dari memangkas kesempatan masyarakat untuk masuk dalam lingkaran yang lebih radikal. Memutus dan memangkas media wahabi sama halnya memutus akses masyarakat untuk mendekati kea rah salafi radikal yang bisa menjurus pada tindakan terorisme.

Facebook Comments