Teologi Pandemi; Ketuhanan, Kemaslahatan, Kemanusiaan

Teologi Pandemi; Ketuhanan, Kemaslahatan, Kemanusiaan

- in Narasi
390
0
Teologi Pandemi; Ketuhanan, Kemaslahatan, Kemanusiaan

Gelombang kedua pandemi Covid-19 yang tengah kita hadapi menghadirkan situasi mencekam. Berita duka silih berganti datang, dari lingkaran sosial terjauh hingga terdekat. Sebagai manusia kita dipaksa merenungi betapa lemahnya kita di hadapan alam semesta dan Sang Pencipta. Cemas, takut, panik dan segala rupa perasaan negatif yang hari-hari belakangan ini kita rasakan ialah bukti ketidakberdayaan manusia.

Di luar semua itu, muncul pula perdebatan teologis seputar pandemi, utamanya di kalangan umat Islam. Sebagian umat Islam meyakini bahwa pandemi ialah hukuman Tuhan bagi manusia akhir zaman yang kian lalai melaksanakan perintah-Nya. Keyakinan ini, seolah-olah menempatkan Tuhan sebagai terdakwa. Dalam tinjauan teolog Gottfried Leibniz, manusia memang memiliki kecenderungan untuk menempatkan Tuhan sebagai penyebab dari kesusahan yang dialami manusia, seperti musibah, bencana alam dan tragegi lainnya.

Sedangkan sebagian umat Islam lainnya beranggapan bahwa pandemi merupakan fenomena alam biasa yang tidak ada kaitannya dengan kemurkaan Tuhan. Pandemi ialah fenomena alam yang dilatari oleh mutasi virus dan penularan penyakit dari hewan ke manusia atau dikenal dengan istilah zoonosist. Cara pandang yang demikian ini cenderung menempatkan manusia sebagai penyebab dari munculnya pandemi. Kelalaian kita dalam menjaga ekosistem alam lah yang menyebabkan munculnya pandemi yang merusak tatanan dunia.

Jika kita mau berpikri obyektif, kedua pendekatan itu sebenarnya sama-sama memiliki kekurangan. Pendekatan pertama cenderung menempatkan Tuhan sebagai pemicu kesusahan umat manusia. Demikian pula, pendekatan kedua yang cenderung menyalahkan manusia kiranya juga kurang bijak. Bagaimana pun juga, tidak semua hal yang terjadi di dunia ini bisa dikendalikan sepenuhnya oleh manusia. Apalagi dalam persoalan pandemi yang bahkan sampai hari ini belum terungkap asal-usulnya.

Maka, penting untuk merumuskan cara pandang keagamaan yang relevan dan kontekstual dengan problem pandemi. Saat ini kita membutuhkan teologi pandemi, yakni cara pandang keagamaan yang solutif bagi kompleksitas problem yang dilatari pandemi. Teologi pandemi ingin melampuai debat kusir tentang siapa yang layak dipersalahkan atas situasi pandemi ini; apakah Tuhan atau manusia? Perdebatan itu tidak akan berpengaruh pada situasi pandemi. Hal urgen yang mendesak dilakukan saat ini ialah bagaimana memutus rantai penularan virus, dan membangun ketahanan sosial menghadapi masa-masa krisis ini.

Ketuhanan, Kemaslahatan, Kemanusiaan

Hal pertama yang ingin dicapai oleh teologi pandemi ialah membangun kesadaran umat bahwa pandemi merupakan fenomena alam sekaligus ujian dari Tuhan. Tidak perlu mencari kambing hitam. Tugas manusia ialah melewati ujian sebaik-baiknya, optimistik, sabar dan ikhlas. Sikap itu bisa diwujudkan dengan mematuhi aturan protokol kesehatan dan pembatasan kegiatan masyarakat. Di tengah situasi ketidakpastian ini, kita tidak boleh kehilangan optimisme dan harapan pada kasih sayang Tuhan. Dimensi ketuhanan harus tetap kokoh, lantaran kepada-Nya lah kita bersandar, memohon pertolongan sekaligus ampunan.

Langkah kedua, mengembangkan praktik beragama dan bersosial yang berorientasi pada kemaslahatan. Situasi pandemi ini memaksa kita menyesuaikan diri dan mengubah perilaku, termasuk dalam hal keagamaan dan aktivitas sosial lainnya. Pandemi mengharuskan kita membatasi aktivitas keagamaan maupun sosial. Meski demikian, kita tetap memiliki kewajiban menjalnkan ritual keagamaan dan menjaga relasi sosail tanpa membahayakan keselamatan pribadi dan orang lain. DI masa pandemi, kepentingan untuk mendahulukan kemaslahatan publik jauh lebih utama ketimbang mengejar kesempurnaan ibadah dan aktivitas sosial.

Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah tetap menjaga spirit kemanusiaan agar ruhnya tidak pudar digerus kecemasan akibat pandemi. Pandemi idealnya tidak membuat kita jadi egois dan asosial. Menjaga jarak fisik bukan berarti kita menarik diri dari jejaring sosial. Sebaliknya, kita harus memperkuat solidaritas kolektif untuk menghadapi badai pandemi yang kian dahsyat. Berempati pada korban pandemi dan membantu pihak yang kesulitan ialah sedikit hal yang bisa kita lakukan untuk merawat spirit kemanusiaan.

Pandemi merupakan ujian kita sebagai umat beragama, sebagai warga Indonesia dan sebagai manusia. Sikap kita dalam menghadapi pandemi akan mencerminkan derajat intelektualitas, spiritualitas dan sosialitas kita. Maka, pandemi ini kiranya menjadi momentum untuk membuktikan komitmen keagamaan, keindoneisaan dan kemanusiaan kita. sejarah akan mencatat peran kita dalam melawan pandemi. Apakah kita selamanya akan menyalahkan Tuhan, menyalahkan manusia atau melampaui dikotomi itu dan sebaliknya menyumbang andil praksis dalam melawan pandemi?

Facebook Comments