Sejatinya, kita perlu menghidupkan kultur dialog dan musyawarah di era pandemi ini. Sebab, keadaan kita yang sedang dalam kondisi (tertimpa musibah pandemi covid-19) ini, kita justru sering-kali salah-kaprah dalam memahami dan sering-kali mudah terprovokasi, dengan narasi-narasi yang sengaja ingin menggagalkan kita dalam berjuang menghadapi musibah pandemi ini.
Sehingga, dengan menghidupkan semacam dialog dan musyawarah, niscaya kita akan lebih tahu, lebih mengerti, lebih memahami dan lebih menyadari akan fakta dan keadaan yang sebenarnya. Sehingga, kita tidak akan mudah termakan provokasi dan tidak akan mudah salah kaprah dalam memahami.
Karena dengan cara seperti inilah, kita akan menemukan segala (titik terang) dari “kelabu” berita yang terus berseliweran. Di tengah maraknya berita hoax dan provokasi yang sengaja diproduksi untuk membodohi. Oleh sebab itulah, di tengah pandemi ini kita perlu menghidupkan kembali kultur dialog dan musyawarah di negeri ini.
Sebab dialog dan musyawarah adalah kultur kita yang sebenarnya. Karena hanya dengan cara seperti inilah kita bisa menemukan semacam (ide solutif) untuk bisa menyelesaikan segala problem secara bersamaan. Untuk bisa menghasilkan semacam hikmah (kesadaran) dan kebijaksanaan dalam berbagai macam keputusan dan tindakan kita. Sebagaimana yang telah tertuang dalam point Pancasila.
Karena, ketika dialog dan musyawarah kita kesampingkan, niscaya akan melahirkan semacam tindakan yang justru menang-nya sendiri, benarnya sendiri dan bahkan bertindak hanya berdasarkan keputusan dan kemauannya sendiri. Semua selalu mengacu ke dalam dimensi ego dan dimensi arogansi yang tidak ada tara. Sehingga, dengan kondisi yang semacam inilah, kita semakin terus mengalami keterpurukan karena semakin diperparah dengan tindakan kita yang kurang etis.
Misalnya dalam kenyataan sosial, berapa banyak orang yang telah terbodohi akibat (salah paham) perihal vaksin. Hingga, begitu banyak orang yang menganggap bahwa vaksin itu tidak bagus, vaksin itu bisa membunuh atau bahkan vaksin itu secara kualifikasi halal-haram dalam agama, justru sangat-sangat tertuju pada ranah haram yang secara otomatis tidak boleh dipakai.
Tentu, pemahaman yang semacam ini sebetulnya lahir bukan berdasarkan hasil dialog dan musyawarah untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya perihal vaksin tersebut terhadap pihak yang berwajib. Melainkan hanya (mendengar dari orang lain) lalu itu dijadikan sebagai sandaran untuk tidak melakukan vaksin, Karena ketakutan tadi sudah tertanam dengan sempurna akibat narasi provokatif tersebut telah mendarah-daging.
Namun, jika terlebih-dahulu mengedepankan dialog dan musyawarah untuk mencari tahu kebenaran perihal vaksin dan proses vaksinasi tersebut. Misalnya, ketika kita bisa melakukan dialog dan musyawarah perihal vaksinasi kok ada yang meninggal? Tentu, kita akan menemukan (benang merah) jawaban. Bahwa seperti fakta yang di lapangan, ketika mau melakukan vaksinasi, kita tidak jujur dalam memberikan jawaban terkait (penyakit yang diderita), niscaya hal demikian itulah yang akan menjadi efek buruk bagi kita setelah vaksin.
Maka, di sinilah sebetulnya fungsi secara fundamental kenapa kita perlu menghidupkan dialog dan musyawarah di era pandemi ini. Karena ini salah satu cara kita untuk belajar mendengarkan orang lain, memahami orang lain, bisa mengerti orang lain dan belajar untuk saling (terbuka) satu sama lain. Utamanya di era pandemi ini, dialog dan musyawarah perlu kita jadikan kultur atau kebiasaan kita dalam mengokohkan ikhtiar bersama melawan pandemi covid-19 dengan baik.