HUT RI 76 Tahun: Merdeka dari Ancaman Disintegrasi dan Radikalisasi

HUT RI 76 Tahun: Merdeka dari Ancaman Disintegrasi dan Radikalisasi

- in Narasi
829
0
HUT RI 76 Tahun: Merdeka dari Ancaman Disintegrasi dan Radikalisasi

17 Agustus, 76 Tahun lalu, Republik Indonesia diproklamirkan. Sebuah deklarasi kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah, air mata dan tentunya doa. 76 tahun tentu bukan perjalanan singkat. Berbagai capaian telah diraih bangsa ini. Rezim demi rezim berganti memberikan sumbangsih pada kemajuan peradaban bangsa. Namun, ibarat pepatah lama, kian tinggi pohon, kian kencang angin bertiup. Sebagai negara dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang besar, Indonesia tidak lepas dari sejumlah problem sosial, politik dan keagamaan.

Di bidang sosial, saat ini kita tengah menghadapi gelombang arus besar penyebaran berita palsu (hoax) dan provokasi. Perkembangan era digital dalam satu dekade terakhir menghadirkan situasi dilematis. Di satu sisi, dunia digital menghadirkan kemudahan berkomunikasi dan bertukar informasi. Namun, perkembangan dunia digital yang tidak dibarengi dengan penguatan literasi berdampak pada maraknya hoaks. Membatasi akses masyarakat pada dunia digital ialah sebuah kemustahilan di alam demokrasi. Namun, membiarkan publik terpapar hoaks atas nama kebebasan ialah sebuah tindakan bunuh diri sosial (social suicide).

Di ranah politik, masyarakat dan pemerintah saat ini tengah menghadapi fenomena polarisasi. Yakni keterbelahan atau perpecahan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pilihan politik di masyarakat. Seperti kita tahu, kontestasi politik terutama Pilpres 2014 dan 2019 telah membelah masyarakat ke dalam dua kubu yang berbeda afiliasi dan dukungan politik. Polarisasi politik memang tidak selamanya berkonotasi negatif, asal masyarakat memahami betul perbedaan dukungan dan afiliasi politik itu tidak mengerucut pada perpecahan apalagi konflik. Sayangnya, apa yang terjadi di Indonesia justru menunjukkan sebaliknya. Polariasi politik menjadi pemicu perpecahan di ranah lain, termasuk agama dan lain sebagainya.

Sedangkan di ranah keagamaan, kita menghadapi masifnya penyebaran paham dan gerakan radikalisasi yang bertendensi anti-kemajemukan, anti-kebangsaan dan anti-NKRI. Radikalisasi keagamaan mewujud pada gerakan yang menghasut publik untuk melawan pemerintah yang sah dengan senjata atau alibi keagamaan. Kaum radikal senantiasa menghasut publik dengan narasi keagamaan yang diselewengkan. Tujuannya ialah melemahkan kepercayaan publik pada pemerintahan yang sah dan menimbulkan kekacauan sosial dengan menciptakan praktik kekerasan dan teror atas nama agama.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa kita sudah lepas dari jerat kolonialisme-klasik, yakni penjajahan antarbangsa. Namun, kita belum lepas dari jerat kolonialisme baru (neo-collonialism) yang berwujud pada ancaman disintegrasi bangsa dan radikalisasi agama. Disintegrasi dan radikalisasi memiliki watak yang sama, yakni anti-kebinekaan dan berupaya menghancurkan tatanan sosial-politik yang telah susah payah dibangun para pendahulu. Spirit perayaan kemerdekaan alias HUT RI 76 tahun idealnya bisa ditransformasikan untuk membangun daya tangkal dan ketangguhan dalam melawan setiap potensi disintegrasi dan radikalisasi.

Menangkal Disintegrasi dan Radikalisasi

Ancaman disintegrasi bangsa bisa ditangkal sejak dini jika pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk menganulir sedini mungkin segala potensi perpecahan bangsa. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi untuk mengikis segala bentuk primordialisme kesukuan, fanatisme keagamaan dan arogansi politik. Sebaliknya, masyarakat dan pemerintah harus bekerjasama memperkuat nasionalisme dan patriotisme.

Primordialisme berbasis etnisitas dan kesukuan sepatutnya ditinggalkan. Ketika diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa mendesain Indonesia sebagai negara multikultur yang melampuai segala jenis primordialisme kesukuan. Tidak ada lagi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan sebagainya sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian pula halnya dengan fanatisme keagamaan yang seharusnya juga dihapus karena bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia yang multirelijius. Indonesia memang bukan negara agama, melainkan negara beragama yang mengakui kebebasan berkeyakinan dalam bingkai kesetaraan dan persamaan hak. Di depan Pancasila dan UUD 1945 semua pemeluk agama yang sah memiliki kedudukan hukum yang sama. Ini artinya, setiap tindak diskriminasi pada kaum agama, utamanya minoritas ialah tindakan inkonstitusional. Pekerjaan rumah kita saat ini ialah mengelola agar multirelijiusitas itu tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan sebagai kekuatan atawa modal sosial membangun bangsa.

Terakhir, dalam konteks arogansi politik kita tentu berharap praktik demokrasi kita tetap berpegang teguh pada filosofi Pancasila. Konsep dasar politik demokrasi Pancasila ialah mengelola perbedaan pendapat dan kontestasi perebutan kekuasaan ke dalam mekanisme permusyawaratan. Dalam demokrasi Pancasila, politik tidak diartikan semata sebagai perebutan kekuasaan an sich. Melainkan sebuah mekanisme mengatur bangsa dengan mengdepankan komunikasi, negosiasi dan kompromi.

Facebook Comments