“Barang impor selalu menggiurkan.” Mungkin istilah ini tepat untuk menggambarkan penetrasi ideologi transnasional di Indonesia. Bagimana tidak, bagi sebagian orang, corak keberagamaan yang datang dari luar lebih menarik –bahkan dianggap lebih asli –dari pada cara keberagamaan dalam negeri.
Paham, ajaran, dan gaya kebergamaan yang datang dari luar langsung disamput dengan gegap-gempita, dikampanyekan, dan diklaim sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Yang berbeda dengan ini dianggap salah bahakan terkadang dicap dengan cap sesat, syirik, dan bid’ah.
Ketergiuran sebagian orang dengan ideologi trannasional tidak lepas dari alasan ini. Pertama, ideologi transnasional datang dari negeri Arab. Arab dianggap sebagai tempat lahirnya Islam, maka ia diyakini sebagai corak keberagamaan yang paling otentik.
Kedua, Ideologi transnasional mempunyai corak keberagamaan yang tidak rumit. Corak keberagamaan hanya dua: benar atau salah; baik atau buruk; kami atau mereka. Manusia hanya dua itu saja, jika benar, baik, dan masuk golongan kami, maka cirinya adalah mengikuti ajaran kami.
Jika tidak, justru bertolak belakang dengan ajaran kami, maka itu salah, buruk, dan itu goloangan mereka. Ideologi kelompok yang didasarkan pada pemahaman formalistik-monilitik pada syariat menjadi standar utama kebenaran dan kebaikan.
Ketiga, ideologi transnasional membawa iming-iming yang luar biasa. Apa itu? Khilafahlah, negara Islamlah, kemakmuranlah, kesejateranlah, dan sebagainya.
Para pengusung dan pengasong khilafah misalnya, selalu membius para jemaah mereka dengan doktrin “jika khilafah Islamiyah tegak, maka dunia ini seluruhnya akan aman sentosa dan penuh dengan kedamaian. Tidak ada manusia yang kelaparan. Tidak ada manusia yang pengangguran. Tidak ada manusia yang tidak mendapatkan keadilan”
Jauh Panggang dari Api
Mungkin kelompok yang paling menyebalkan di bumi ini adalah para pengusung dan pengasong khilafah. Bagaimana tidak, setiap ada suatu kejadian atau kasus, maka mereka buru-buru langsung menyodorkan khilafah sebagai solusi. “Semua masalah akan selesasi jika khilafah ditegakkan di muka bumi ini” itu kalimat yang mereka ulang-ulang.
Ketika konflik Israel-Palestina memanas dan menyedot perhatian dunia misalnya, mereka langsung berkoar-koar di media sosial bahwa masalah Israel-Palestina hanya bisa selesasi jika khilafah tegak. Palestina bisa aman hanya kalau khilafah Islamiyah berdiri.
Di tengah arus pembelaan manusia terhadap Palastina, para pengusung khilafah ini berkampanye dengan mati-matian bahwa khilafahlah jalan keluar itu. Dengan khilafah tidak ada lagi penjajahan. Dengan khilafah tidak ada lagi kezaliman terhadap dunia Islam.
Tidak sedikit yang terpancing oleh kampanye mereka ini. Banyak anak muda yang tergiur dan kemudian mau ikut menyuarakan bahwa khilafah adalah solusi satu-satunya. Bagi mereka, solusi yang diberikan dunia apalagi yang diberikan oleh PBB hanyalah solusi jangka pendek, bahkan itu hanya hitam di atas putih, tak ada realisasinya dalam praktik.
Solusi yang nyata, bukan hanya hitam di atas putih, tetapi riil dalam realita hanyalah khilafah. Bernarkah klaim mereka bahwa khilafah adalah solusi yang nyata? Benarkan khilfah adalah jaminan akan keamanan Palestina?
Tak Laku di Tempat Asalnya
Nyatanya apa yang para pengusung khilafah lontarkan itu hanyalah omong kosong belaka. Itu hanyalah khayalan mereka. Mengapa saya berani mengatakan demikian? Sebab, dalam fakta sejarah, khilafah –atau lebih spesifik—Hizbut Tahrir (HT) justru “keok” di Palestina, tempat lahirnya HT pertama kali.
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Baitul Maqdis, Palestina oleh Taqiyuddin An-Nabhani. Sejak berdiri Taqiyuddin An-Nabhani sudah berokoar-koar, sebentar lagi khilafah akan beridiri di mukan bumi. Itu diucapkan oleh An-Nabhani sejak tahun 50-an.
Nyatanya sampai sekarang apa yang mereka omongkan itu hanya khayalan dan omong kosong, tak ada bukti konkritnya. Jadi kalaulah sekarang mereka mengatakan bahwa khilafah adalah solusi konflik Palestina-Israel. Mereka ibarat orang mimpi di siang bolong. Mereka lupa sejarah mereka sendiri.
Khilafah lahir di Palestina tahun 1953. Kalaulah khilafah itu sebagai solusi terhadap kedamaian Palestina, mengapa tidak sejak dulu, sejak lahirnya Hizbut Tahrir, mereka mewujudkan itu? Bukankah konflik Israel-Palsetina sudah ada sejak tahun 1948?
Para pengusung dan pengasong khilafah itu hanyalah kaum pengkhayal yang lupa sejarah. Mereka hanya tukang kompor yang mendramatisasi sesuatu, seolah-olah kehebatan Islam zaman dulu adalah jawaban terhadap segalanya. Apa yang mereka omongkan hanyalah jualan ideologi kelompok mereka.
Jika mereka dengan pe-de-nya mengatakan khilafah sebagai solusi atas Palestina. Pernyataan itu harus disanggah dengan segara, bukankah khilafah itu justru keok di Palestina, tempat lahirnya Hizbut Tahrir sendiri?
Akhirnya, apa yang mereka kampanyekan hanyalah retorika semata yang tak ada bukti riilnya. Benar apa yang dikatakan oleh Ainur Rafiq Al-Amin penulis buku Membongkar Proyek Khilafah, bahwa para pengusung khilafah itu layak mendapatkan piala sebagai penghayal terbesar abad ini.