Tiga Residu Kebangkitan Taliban; Euforia, Glorifikasi, Provokasi

Tiga Residu Kebangkitan Taliban; Euforia, Glorifikasi, Provokasi

- in Narasi
1402
0
Tiga Residu Kebangkitan Taliban; Euforia, Glorifikasi, Provokasi

Sudah menjadi kelaziman di negeri ini manakala terjadi peristiwa sosial-politik di negara lain yang menyangkut umat Islam, maka akan menjadi isu nasional. Ketika isu muslim Uyghur mencuat, sebagian umat Islam Indonesia segera bereaksi. Juga ketika isu muslim Rohingnya mengemuka, lini masa media sosial pun riuh dengan perdebatan.

Hal sama terjadi ketika Taliban merebut kekuasaan di Afganistan, 15 Agustus 2021 lalu. Kali ini bukan ajakan solidaritas atau penggalangan dana, melainkan ajakan bersimpati atas kemenangan Taliban. Ada semacam gerakan sistematis dan terstruktur untuk mem-framing kemenangan Taliban ini sebagai kemenangan Islam melawan rezim liberal-sekuler bentukan Amerika Serikat.

Benarkah demikian? Dalam tulisannya di harian Kompas berjudul “Tidak Ada Hitam Putih di Afganistan”, Agustinus Wibowo menjelaskan bahwa memahami konflik di Afganistan tidak bisa dilakukan semata dengan memakai kacamata identitas. Tersebab, hal itu akan menyesatkan dan potensial menimbulkan mispersepsi. Memahami peta konflik di Afganistan idealnya dimulai dengan memahami kepentingan-kepentingan yang terlibat di dalamnya.

Penuturan Agustinus itu membuka selubung fakta bahwa apa yang terjadi di Afganistan bukanlah murni konflik agama. Taliban tidak semata berjuang untuk menegakkan syariat Islam. Kemenangan Taliban dengan demikian tidak bisa diartikan sebagai kemenangan Islam. Maka, umat Islam di seluruh dunia, terlebih di Indonesia harus bersikap rasional, dan kritis dalam memahami situasi termutakhir di Afganistan.

Tiga Residu

Di saat yang sama, kemenangan Taliban ini menyisakan residu bagi umat Islam Indonesia. Residu dimaknai sebagai sisa atau ampas yang tidak berguna dan harus dibuang. Residu kemenangan Taliban itu setidaknya ada tiga, yakni euforia, glorifikasi dan provokasi.

Pertama, euforia yakni perasaan senang dan simpati berlebihan atas peristiwa atau keadaan tertentu. Dalam konteks kemenangan Taliban, euforia itu mewujud pada optimisme berlebihan sebagian muslim Indonesia yang meyakini Taliban akan membawa kejayaan Islam. Euforia ini rawan menimbulkan perasaan atau keinginan untuk meniru apa yang dilakukan Taliban. Yakni melakukan perjuangan dengan kekerasan dan teror untuk merebut pemerintahan yang sah.

Kedua, glorifikasi yakni memuliakan individu atau kelompok secara berlebihan. Dalam konteks kemenangan Taliban, glorifikasi itu tampak pada sikap sebagian umat Islam yang menganggap Taliban sebagai pahlawan bagi rakyat Afganistan. Glorifikasi ini nyatanya berkebalikan dengan kondisi di Afganistan. Pasca kejatuhan Kabul, ribuan rakyat Afganistan menyerbu bandara untuk melarikan diri ke luar negeri. Itu menjadi bukti bahwa sebagian masyarakat Afganistan justru merasa terancam atas kemenangan Taliban.

Ketiga provokasi yakni upaya menghasut publik untuk melakukan tindakan melawan hukum. Dalam konteks kemenangan Taliban, provokasi itu mengemuka pada hasutan untuk meniru atau menduplikasi perjuangan Taliban demi menggulingkan pemerintahan yang sah di NKRI. Provokasi itu kerapkali juga berkelindan dengan hoaks, dan ujaran kebencian, baik terhadap pemerintah maupun kelompok tertentu.

Menjaga Indonesia

Ketiga residu tersebutlah yang harus diwaspadai. Dalam jangka pendek, kemenangan Taliban barangkali akan menginspirasi terjadinya aksi kekerasan dan teror. Seperti kita tahu, banyak jaringan sel tidur teroris di Indonesia yang berafiliasi dengan Taliban. Bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan momentum kemenangan Taliban ini untuk melakukan aksi teror. Di titik ini, pemerintah melalui aparat keamanannya harus waspada dan siaga.

Dalam jangka panjang, kemenangan Taliban ini akan memotivasi organisasi keislaman transnasional yang saat ini masih eksis di Indonesia untuk meniru straregi perjuangan Taliban. Efek jangka panjang inilah yang harus kita waspadai bersama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil. Dalam banyak hal, kondisi sosial-keagamaan di Indonesia memiliki kesamaan dengan di Afganistan.

Mirip dengan Afganistan, kita memiliki beragam suku, agama, budaya yang harus diakui rawan untuk dibenturkan satu sama lain. Di Afganistan, keragaman agama, suku dan budaya itu gagal dikelola sehingga melahirkan kontestasi perebutan kekuasaan. Taliban hanyalah satu dari sekian banyak faksi politik di Afganistan yang saling berebut kekuasaan. Maka, jangan sampai Indonesia menjadi ajang pertarungan kepentingan antar-berbagai faksi politik layaknya Afganistan.

Di titik ini, kita perlu memperkuat implementasi Pancasila sebagai benteng bangsa dari ekspansi ideologi transnasional. Dengan kembali pada Pancasila, kita yakin peristiwa politik di Afganistan tidak akan berpengaruh apa-apa bagi Indonesia. Dengan kembali ke Pancasila, kita berharap residu kebangkitan Taliban, yakni euforia, glorifikasi dan provokasi itu bisa diredam.

Facebook Comments