Pada mulanya kehadiran agama adalah untuk menuntun manusia menuju jalan yang benar, meraih kedamaian dunia dan di kehidupan akhirat nanti yang abadi. Islam juga demikian, sebagai agama paripurna penyempurna agama Tuhan yang diturunkan ke bumi hadir untuk menjadikan manusia menjadi manusia yang sebenarnya. Islam bertujuan marawat kehidupan.
Sayangnya, ada jutaan manusia mati karena agama. Wahyu Ilahi yang sangat menghormati manusia sebagai hamba Tuhan justru sering dijadikan alat legitimasi pembunuhan. Agama lebih sering digunakan untuk melukai kemanusiaan.
Di era modern sekarang ini sekelompok manusia yang sering menggunakan wahyu Ilahi sebagai alat legitimasi menghilangkan nyawa biasa disebut kaum teroris. Sekelompok orang yang dengan mudah mengkorup nama Tuhan untuk mengabsahkan tindakan kekerasan yang dilakukan.
Di tangan teroris agama menjadi kambing hitam, ajarannya yang berorientasi “rahmatan lil ‘alamin” berubah menjadi “ajaran maut” membunuh setiap orang yang berbeda dengan kehendaknya. Doktrin agama dengan iming-iming surga dan bidadari menjadi senjata untuk pembunuhan dan kekejaman yang menihilkan kemanusiaan.
Terorisme yang seharusnya menjadi musuh bersama oleh sebagian orang justru dijadikan kebanggaan dan dianggap sebagai pemegang kebenaran. Terorisme dengan corak keagamaannya yang keras berhasil mencetak manusia yang menebarkan permusuhan dan pertikaian. Paham radikalisme kerap kali berhasil mencetak manusia menjadi irasional. Menjadikan manusia yang awalnya berakal menjadi tidak berakal.
Situasi ironis itu tampak semakin parah akhir-akhir ini. Apapun dibuat alasan untuk menyembunyikan akal bulus kelompok terorisme. Seperti gempa Cianjur yang barusa saja menelan banyak korban dan harta. Di tengah situasi duka seperti itu muncul suara yang berkata, gempa yang terjadi karena NKRI anti khilafah karenanya Tuhan mengadzan negeri ini.
Seakan-akan korban bencana alam itu adalah orang-orang yang dilaknat. Sungguh, mereka tega mengkorup ajaran agama dengan memojokkan orang-orang yang sedang diuji oleh Tuhan sebagai orang yang dhalim dan penuh dosa. Lebih dari itu, mereka menihilkan kemanusiaan. Seharusnya membantu korban bencana sebagai ekspresi manusia beragama yang benar, malah menambah derita batin korban gempa.
Kelompok Teror Menebar Teror Mental Melalui Bencana
Kita memang harus aktif melawan upaya-upaya terorisme. Selain terorisme fisik berupa kekerasan dan pembunuhan, aksi-aksi terorisme juga dilakukan dengan cara “Teror Mental”. Seperti pernyataan, Indonesia diguncang gempa karena anti khilafah, merupakan bentuk teror mental. Korban bencana alam tersebut sengaja dinistakan sebagai orang-orang yang diadzab oleh Tuhan supaya timbul perasaan mendukung kelompok pendukung Khilafah bahwa solusi kerunyaman dan ketidaknyamanan hanya bisa berakhir kalau sistem pemerintahan khilafah diterapkan di Indonesia.
Meskipun hal itu nyata-nyata bualan dan akal bulus kelompok radikal untuk memuluskan tindakan terorisme berikutnya, tetapi bisa saja sebagian korban akan mempercayainya akibat terguncangnya mental mereka setelah kehilangan segalanya; keluarga dan harta benda.
Karenanya, penting untuk melakukan pembinaan mental mereka yang menjadi korban bencana gempa dan bencana alam yang lain. Jangan sampai kaum radikal menyusup kemudian mendoktrin mereka dengan radikalisme yang nantinya berubah menjadi terorisme. Isu kristenisasi dan sebagainya ketika orang berbondong-bondong menyalurkan bantuan korban bencana adalah bukti mereka tidak suka dengan tindakan kemanusiaan tersebut.
Supaya, disaat bantuan terhenti para korban berada dalam kondisi prustasi dan keputusasaan, baru nanti mereka yang akan datang seolah-olah menjadi dewa penolong, padahal kelompok radikal sengaja mencari celah untuk merekrut mereka menjadi teroris.
Teror mental seperti ini dilakukan supaya korban-korban bencana alam dilanda rasa tidak percaya kepada pemerintah, merasa sebagai pendosa yang diadzab Tuhan, dan cara bertaubat mereka adalah menjadi teroris. Apabila hal ini sampai terjadi, maka kelompok teroris telah berhasil melakukan teror mental dan membentuk pribadi yang siap kapan saja untuk melakukan aksi-aksi terorisme.