Adalah Prof. Dr. Taufiq Al-Buthi yang pernah memberikan testimoni menggetarkan tentang kondisi negaranya, Suriah, yang luluh lantak karena manuver dan Gerakan ashabul fitnah. Ayahnya, almarhum Syeikh Ramadhan Al-Buthi meninggal karena dibunuh saat sedang memberikan ceramah di Masjid Al-Imam Damaskus. Saat kunjungan ke Indonesia yang berkeliling memberikan ceramah di berbagai tempat, Prof. Dr. Taufiq Al-Buthi mengingatkan Indonesia untuk tidak terjebak pada kelompok ekstrem yang menggunakan strategi fitnah yang berupa takfiri.
Al-Buthi menyebut kelompok ekstrem itu dengan istilah ashabul fitnah yang mempunyai beberapa karakter. Pertama, mudah mengkafirkan kelompok yang berbeda baik secara keyakinan dan politik. Mereka gampang menebar jala takfiri terhadap mereka yang bersebarangan. Mengumbar kafir dengan begitu mudahnya dan memecahbelah persaudaraan beragama.
Kedua, menciptakan polarisasi dengan pembelahan takfiri berdasarkan aliran dan identitas keagamaan. Ashabul fitnah menyadari persatuan adalah hambatan dan benteng kokoh yang harus dirusak untuk menghancurkan sebuah bangsa. Karena itulah, takfiri menjadi salah satu label untuk membelah dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.
Ketiga, menghancurkan reputasi ulama moderat. Tantangan untuk mengacaukan dan menciptakan polarisasi adalah para tokoh moderat. Bagi ashabul fitnah, kelompok dan tokoh moderat ini harus dihilangkan bukan hanya otoritasnya, bahkan nyawanya sekalipun. Di negara yang rentan kekerasan fisik, pembunuhan terhadap tokoh moderat sangat mungkin dilakukan. Namun, seperti di Indonesia, pembunuhan karakter dilakukan dengan label liberal, syiah dan sekuler.
Gerakan ashabul fitnah bisa menyusup ke berbagai lini kehidupan masyarakat terutama melalui media sosial saat ini. Namun, tidak menutup kemungkinan dan sangat potensial, ashabul fitnah menunggangi mimbar-mimbar agama dengan melalui ceramah yang bernuansakan takfiri. Masyarakat akan dibombardir dengan istilah kafir, musuh, dzalim dengan serangkain hoax, hate speech yang ditebar melalui ceramah-ceramah yang seolah-olah adalah ajaran agama.
Karena itulah, dalam konteks ini Saya membaca peringatan Presiden Joko Widodo tentang penceramah radikal mengingatkan kepada pesan Al-Buthi. Indonesia harus menjaga keragaman bangs aini agar tidak jatuh dalam permainan ashabul fitnah yang bisa masuk melalui mimbar ceramah. Polarisasi antara masyarakat dengan sentiment keagamaan dikuatkan dengan dalil di mimbar agama yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Sudah cukup menjadi pelajaran hancurnya beberapa negara di Timur Tengah akibat kecamuk perang saudara yang dipicu oleh manuver ashabul fitnah. Arahan untuk tidak mengundang penceramah radikal seakan menjadi teguran untuk tidak memberikan ruang terhadap ashabul fitnah di mimbar keagamaan di Indonesia.
Sangat fatal akibatnya ketika itu dibiarkan terus menerus berlangsung. Kita tidak akan menemukan perang itu dalam waktu dekat. Namun, ketika pemicu polarisasi semakin lebar, ketidakpercayaan antar masyarakat dengan pemerintah, masyarakat antar masyarakat dan individu antar individu terjadi, ashabul fitnah mudah memecahbelah dan memainkan peran destruktifnya.
Sejak dini, kewaspadaan tentang keberadaan ashabul fitnah dengan kedok mimbar agama harus diwaspadai. Upaya memecahbelah persatuan melalui mimbar agama harus dihentikan. Dan negara tidak boleh takut dan mundur dengan para pengacau yang menanamkan benih-benih kebencian, permusuhan dan perpecahan ini.