Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi sontak menjadi perbincangan publik. Semua berawal dari deretan pernyataan kontroversialnya pada momen Rakernas Partai Ummat, Senin, 13-2-2023 lalu.
Ia menegaskan bahwa partainya akan mengusung politik identitas sebagai strategi melawan politik narasi kosong. Tidak hanya itu, ia juga menyebut akan menjadikan tempat ibadah (masjid) sebagai sarana kampanye politik praktis.
Ia mengklaim politik identitas merupakan bagian dari memperjuangkan umat Islam. Bahkan, ia menyebut politik identitas merupakan bagian dari politik pancasilais. Terakhir, ia melabeli penolak politik identitas sebagai sekuler.
Ridho Rahmadi, Ketum Partai Ummat, yang notabene juga menantu Amien Rais cenderung masih hijau dalam dunia politik. Maka, ucapannya yang sensional dan kontroversial itu bisa dimaknai sebagai upaya mem-branding dirinya agar dikenal luas publik.
Di dalam politik, sensasi acapkali menjadi jalan tercepat meraih atensi. Di titik ini, kita bisa simpulkan bahwa pernyataan Ketum Partai Ummat tentang politik identitas, politik pancasilais, dan sekulerisme tidak lebih dari igauan seorang polisi medioker yang tengah caper.
Ironisnya, pernyataan ini kadung diamplifikasi secara masif dan pada akhirnya rawan disalahpahami. Kita patut khawatir penyataan Rahmadi ini diikuti oleh masyarakat bawah yang awam masalah politik. Maka, penting kiranya kita menguliti satu per satu pertanyaaan Rahmadi ini.
Benarkan Politik Identitas Memperjuangkan Islam?
Pertama, ihwal politik identitas sebagai strategi melawan politik narasi kosong itu adalah hal yang absurd. Mengapa demikian? Karena politik identitas itu secara esensi juga sama dengan politik narasi kosong. Dalam politik identitas, gagasan, ide, rekam jejak dan integritas politisi itu tidaklah penting. Sebaliknya, yang dijadikan komoditas unggulan adalah preferensi dan sentimen identitas.
Kedua, ihwal pernyataan Rahmadi tentang politik identitas adalah politik pancasilais agaknya juga cacat nalar dan patut direvisi. Bagaimana mungkin politik identitas sama dengan politik pancasilais? Demokrasi Pancasila, sebagaimana diungkapkan Moh. Hatta adalah demokrasi berbasis pendelegasian, perwakilan, dan permusyawaratan.
Pendelegasian artinya kita menunjuk orang-orang untuk menyampaikan aspirasi kita dalam pengambilan keputusan politis. Perwakilan artinya ada lembaga legislatif yang menjembatani kepentingan negara dan masyarakat. Sedangkan permusyawaratan artinya pengambilan keputusan bersama tanpa ada yang diuntungkan dan dirugikan. Inti musyawarah adalah mencari titik temu keputusan yang mengakomodasi seluruh kepentingan bangsa.
Politik identitas tidak sama dengan politik pancasilais. Pernyataan bahwa politik identitas dengan politik pancasilais hanya mungkin keluar dari sosok yang tidak paham apa itu hakikat Pancasila.
Ketiga, pernyataan bahwa politik identitas itu memperjuangkan kepentingan umat Islam adalah sebuah sikap yang manipulatif. Umat Islam yang mana yang diperjuangkan oleh Partai Ummat? Ada ratusan juta umat Islam di Indonesia. Meraka berafiliasi dengan NU, Muhammadiyah, dan ormas lainnya. Pilihan politik mereka berbeda-beda. Ada muslim yang berideologi nasionalis dan memilih parpol berhaluan nasionalisme (kebangsaan).
Bahkan, warga Nahdliyin yang secara politik kerap diidentikkan dengan PKB pun tidak semua memilih parpol tersebut. Suara Nahdliyin pun terpecah ke dalam banyak parpol. Itu realitas politik pasca Reformasi yang tidak bisa kita bantah.
Lalu, jika Partai Ummat yang baru saja dibentuk kemarin sore dan sempat tidak lolos verifikasi KPU mengklaim memperjuangkan umat, bukankah itu sebuah kekonyolan dalam politik? Jangankan memperjuangkan umat, memperjuangkan eksistensi partai dan mendapat suara agar lolos ke parlemen saja tampaknya sulit bukan main.
Islam Melarang Eksploitasi Rumah Ibadah untuk Politik
Keempat, niatan Partai Ummat menjadikan masjid atau sarana ibadah sebagai tempat kampanye jelas bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Islam melarang eksploitasi tempat ibadah untuk kepentingan politik. Dalam sebuah hadist, Rasulullah melarang umat Islam membicarakan perkara non-agama di dalam masjid. Kalau, membincangkan perkara non-agama saja dilarang, lantas bagaimana bisa kita mau menjadikan masjid sebagai arena kampanye?
Kelima, pernyataan Rahmadi yang menuding penolak politik identitas sehagai pendukung sekulerisme menunjukkan kerancuannya dalam memahami apa itu sekulerisme. Sekulerisme ialah paham yang memisahkan antara persoalan keagamaan dan politik.
Dasar sekulerisme bukan sentimen anti-agama apalagi anti-Islam. Paham sekulerisme pertama kali berkembang di Eropa sebagai respons dari dominasi di ranah politik kala itu. Dominasi otoritas keagamaan di ranah politik yang terjadi kala itu melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter dan membuat Eropa berada di abad kegelapan (The Dark Age).
Jadi, semangat sekulerisme ialah semangat reformasi. Gerakan sekularisasi dengan memisahkan antara agama dan politik inilah yang mengantarkan Eropa keluar dari kejumudan peradaban. Rahmadi agaknya gagal paham ihwal sekulerisme. Maka, dia menuding penolak politik identitas sebagai sekuler.
Pernyataan Rahmadi ihwal partai Ummat yang akan memakai strategi politik identitas adalah kemunduran bagi kualitas demokrasi kita. Politik identitas adalah musuh demokrasi dan kebinekaan. Kita melihat sendiri bagaimana praktik politik identitas menimbulkan efek sosial-politik luar biasa. Segregasi sosial dan polarisasi politik yang merebak sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 adalah bukti tak terbantahkan bagaimana merusaknya politik identitas. Di tengah seruan menolak politik identitas, pernyataan Rahmadi ini merupakan anomali yang berbahaya. Gaya berpolitik yang sensasional seperti dipertontonkan Rahmadi ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi publik. Sudah semestinya ada langkah tegas terhadap oknum-oknum politisi yang masih gemar mengumbar pernyataan sensasional dan kontroversial seperti Rahmadi ini.