Isra Miraj dan Imajinasi Politik Berbasis Kemanusiaan

Isra Miraj dan Imajinasi Politik Berbasis Kemanusiaan

- in Faktual
1137
0
Isra Miraj dan Imajinasi Politik Berbasis Kemanusiaan

Peringatan Isra Miraj 27 Rajab tahun ini jatuh pada hari Sabtu 11-2-2023. Umat Islam pun memperingatinya dengan penuh khidmat. Selama ini, kita kadung memaknai Isra Miraj secara normatif. Yakni sebagai momentum turunnya perintah ibadah sholat. Kita acap luput melihat dimensi politis dari peristiwa tersebut. Padahal, peristiwa Isra Mi’raj mengandung sejumlah simbol politis yang bisa kita bisa jadikan inspirasi dalam berpolitik atawa bernegara.

Pertama, perintah sholat sebagai ibadah utama umat Islam. Tentu kita boleh bertanya, mengapa hanya ada perintah shalat dan tidak ada perintah mendirikan negara? Fakta bahwa Allah hanya memerintahkan umat Islam sholat, alih-alih mendirikan negara Islam menunjukkan bahwa Islam lebih kental dimensi spiritualis bukan ideologis.

Kedua, Rasulullah menawar perintah sholat dari 50 kali menjadi 5 kali sehari. Hal ini menunjukkan keberpihakan Rasulullah pada prinsip kemanusiaan. Ia menyadari bahwa umatnya memiliki keterbatasan untuk beribadah. Sikap Rasulullah ini menunjukkan bahwa dalam beragama pun kita harus berpijak pada nilai kemanusiaan. Jangan sampai, kepentingan menegakkan agama justru mengorbankan kemanusiaan.

Ketiga, Rasulullah menjadi imam shalat bagi para nabi terdahulu dan para malaikat. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah ialah pribadi yang istimewa di hadapan Allah Swt. Namun, dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah ialah sosok manusia biasa yang tidak mendaulat dirinya sebagai raja. Ia tidak berambisi menjadi penakluk dunia atau menorehkan sejarah sebagai sosok yang paling berkuasa.

Isra Miraj Sebagai Inspirasi dalam Bernegara

Momen simbolik dalam peristiwa Isra Mi’raj itu kiranya bisa menjadi semacam ibrah alias inspirasi dalam membangun imajinasi politik di era sekarang. Pasca wafatnya Rasulullah, dunia Islam mengalami dinamika politik yang luar biasa. Bahkan, salah satu fitnah Islam terbesar sepeninggal Rasulullah bersumber dari perebutan kekuasaan politik.

Sejarah politik dunia Islam ialah sejarah panjang yang diwarnai era kejayaan sekaligus kehancuran. Kita pernah mengalami masa jaya di era kekhalifahan. Bahkan, dunia Islam di masa itu sempat menjadi mercusuar peradaban dunia. Namun, seiring dengan kian akutnya problem di internal kekhalifahan, perlahan kejayaan Islam pun memudar. Sampai akhirnya kekhalifahan itu satu per satu tumbang.

Kini, memasuki era modern, sentimen glorifikasi dan romantisasi atas kejayaan era kekhalifahan kembali bangkit. Sebagian umat merindukan masa keemasan dunia Islam lalu dengan lantang menyuarakan berdirinya khilafah Islamiyyah. Sebagian umat ingin mereduplikasi kejayaan Islam di masa lalu dengan kembali pada sistem khilafah yang monarkis dan teosentris.

Sayangnya, agenda mendirikan khilafah itu harus dibayar mahal dengan menjamurnya kekerasan, konflik, perang dan terorisme di dunia Islam dan global. Kehendak untuk menegakkan khilafah telah membuat sebagian umat Islam tega mengorbankan perdamaian dan kemanusiaan. Alhasil, proyek khilafah justru lebih mirip kontestasi perebutan kekuasaan yang diwarnai dengan tumpahan darah.

Model Negara yang Teosentris-Antroposentris

Agenda mendirikan khilafah jelas tidak mewakili spirit Islam seperti tergambar dalam Isra Miraj. Proyek mendirikan negara Islam yang menghalalkan kekerasan dan peperangan justru bertentangan dengan teladan Rasulullah. Dalam urusan shalat, Rasulullah menunjukkan keberpihakannya pada prinsip kemanusiaan dengan menawar jumlah waktu sholat menjadi 5 kali. Sebaliknya, penyokong khilafah justru tega menghancurkan dunia, merusak harta-benda, dan menghilangkan nyawa demi merebut kekuasaan berdalih agama.

Isra Miraj menggambarkan bagaimana dimensi spiritualitas selalu terkait era dengan dimensi humanitas. Di dalam Alquran, perintah sholat nyaris selalu beriringan dengan perintah berzakat. Ini membuktikan Islam menempatkan relasi transendental dan relasi sosial dengan sejajar.

Di dalam Islam, hubungan antara manusia dengan Allah (hablum minallah), tidak akan sempurna tanpa memperhatikan hubungan sesama manusia (hablum minannas). Dengan kata lain, Islam adalah agama yang teosentris sekaligus antroposentris. Prinsip dualisme relasi ini idealnya juga dipakai dalam aktivitas berpolitik dan bernegara.

Dalam berpolitik, umat Islam memiliki tugas untuk mewujudkan tatanan kenegaraan yang di satu sisi menjiawi spiritualitas Islam, namun di sisi lain juga mengejawantahkan spirit humanitas. Jika mengacu pada kondisi saat ini, maka bentuk negara yang paling mendekati simbolisasi dalam peristiwa Isra Miraj adalah model negara bangsa dengan sistem demokrasi atau perwakilan.

Model negara bangsa dengan sistem demokrasi jauh lebih efektif menjembatani kepentingan kelompok-kelompok yang berbeda dalam sebuah negara. Hal itu tentu akan meminimalisasi konflik sektarian di internal sebuah negara. Dalam konsep yang lebih sederhana, model negara bangsa dengan sistem demokrasi ini pernah diterapkan Rasulullah di Madinah.

Arkian, peringata Isra Miraj tahun ini kiranya mampu menerbitkan kesadaran di kalangan umat Islam ihwal pentingnya membangun imajinasi politik berbasis kemanusiaan. Yakni politik yang menjunjung tinggi perdamaian dan persatuan. Bukan politik yang memecah-belah, apalagi menimbulkan kekacauan.

Facebook Comments