Di periode awal dakwah Nabi Muhammad, Islam merupakan agama minoritas di Mekkah. Dengan jumlah pengikut yang sedikit, dan status Nabi Muhammad yang bukan dari kalangan elite, membuat para bangsawan Quraisy bertindak semena-mena terhadap komunitas yang baru saja tumbuh tersebut. Menariknya, di fase selanjutnya ketika Islam mulai membangun peradaban di Madinah, dan mulai melebarkan sayap ekspansi wilayah ke sejumlah tempat, Islam tidak lantas tumbuh menjadi kekuatan otoriter yang menekan kelompok minoritas.
Di fase awal ketika sampai di Madinah, Islam bertemu dengan setidaknya dua entitas lain. Yakni kaum Anshar, yakni muslim asal Madinah dan kaum Yahudi. Alih-alih mengambil momentum untuk mendominasi kepemimpinan, Rasulullah justru menyusun perjanjian tiga pihak (Anshar, Muhajirin, dan Yahudi) yang isinya adalah kesempatan untuk saling menghormati dan menjaga satu sama lain. Dokumen yang kelak disebut Piagam Madinah itu menjadi bukti bagaimana Islam membangun keselarasan hidup dengan kelompok yang berbeda.
Di fase selanjutnya pasca wafatnya Rasulullah, ekspansi Islam ke wilayah lain kiai masif. Wilayah kekuasaan Islam pun kian luas. Meski demikian, ekspansi wilayah itu tidak lantas selalu berkonotasi pada gerakan islamisasi. Buktinya, tidak semua penduduk di wilayah yang ditaklukkan Islam itu lantas dipaksa berpinda agama. Sebagian besar dari mereka yang beragana non-Islam seperti Nasrani, Yahudi, atau Manusia (zoroaster) tetap diberikan kebebasan memeluk agama dan menjalankan peribadatan sesuai keyakinannya.
Dalam literatur fikih klasik, penduduk non-muslim yang hidup atau tinggal di wilayah kekuasaan Islam disebut ‘al zimmi’. Dalam bahasa kekinian bisa disamakan dengan sebutan ‘minoritas’. Makna minoritas ini kerapkali bukan hanya merujuk pada jumlah, namun juga posisi atau daya tawar. Meski jumlahnya lebih banyak, namun jika posisi tawarnya lemah tentu bisa dikategorikan sebagai minoritas juga. Di dalam literatur fikih klasik, cara Islam memperlakukan kaum minoritas bisa dikatakan sangat humanis. Ada setidaknya lima Hak minoritas yang diberikan oleh pemerintahan Islam di era kekhalifahan utamanya khulafaurrasyidun.
Pertama, jaminan hak hidup dan perlindungan keamanan. Mengutip ulama Yusuf Qardlawi yang meriwayatkan pemikiran Ibn Hazm, di era kekhalifahan umat Islam wajib melindungi hak hidup dan keamanan warga non-muslim, baik yang hidup di wilayah kekuasaan muslim maupun bukan. Ini artinya, umat Islam tidak diperbolehkan mengancam keamanan apalagi sampai membunuh kaum non-muslim. Bahkan, umat Islam diwajibkan melindungi kaum non-muslim dari ancaman pihak lain.
Kedua, hak untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinannya. Salah satu bagian penting dari proses ekspansi wilayah di masa kekhalifahan ialah tidak adanya paksaan untuk memeluk Islam. Daerah taklukan yang penduduknya beragama non-muslim tetap boleh memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinannya. Rumah ibadah seperti gereja atau sinangog pun tidak dihancurkan oleh tentara Islam.
Ketiga, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak. Menjadi non-muslim di wilayah kekuasaan Islam tidak lantas tercerabut hak-haknya dalam ekonomi, perniagaan, bisnis dan sebagainya. Sebaliknya, Islam memberikan kesempatan bagi warga non-muslim untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak. Tidak hanya itu, hukum Islam juga tidak melarang umatnya melakukan hubungan bisnis seperti jual beli dengan non-muslim.
Keempat, jaminan hak hari tua. Prinsip ini pertama kali digagas oleh Khalifah Umar bin Khatab. Ia mendirikan Baitul Mal sebagai semacam lembaga filantropi yang menyantuni kaum lansia dhuafa muslim serta lansia dhuafa non-muslim yang. Khalifah Umar juga mengeluarkan kebijakan pembebasan jizyah (pajak) bagi non-muslim yang berusia lanjut dan dalam kondisi terbatas.
Kelima, jaminan hak dalam berpolitik, mulai dari berpartisipasi dalam urusan politik sampai hak menduduki jabatan politik strategis. Di era kekhalifahan, bahkan non-muslim pun memiliki kewenangan menjadi pemimpin. Banyak wilayah taklukan Islam yang pemimpinnya tidak diganti dan tetap dari kalangan non-muslim. Praktik yang demikian ini bisa dikatakan sangat revolusioner pada zamannya.
Itulah lima hak kelompok minoritas (al zimmi’) dalam perspektif hukum Islam klasik. Rumusan hak itu kiranya patut dijadikan referensi untuk mengembangkan relasi muslim dan non-muslim di era modern ini.