Beberapa waktu lalu (13/3) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyelenggarakan Dialog Kebangsaan Bersama Partai Politik. Kegiatan yang mengangkat tema Persatuan dan Kesatuan, Mencegah Polarisasi Sosial dan Politik Identitas yang dapat Mengarah pada Aksi Terorisme dalam Pemilu 2024 itu dihadiri oleh seluruh perwakilan partai peserta Pemilu 2024 yang terdiri dari 18 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh (Jalandamai.org, 14/3/2023). Dialog kebangsaan yang diinisiasi BNPT itu memiliki makna penting bagi kita semua, terutama terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Politik identitas adalah ancaman nyata bagi masa depan demokrasi Indonesia. Yang jika terus dibiarkan berlarut, akan menghancurkan tatanan demokrasi kita. Hal ini sudah terjadi di banyak negara, di mana demokrasi mengalami kehancuran akibat masifnya politik identitas. Sebut saja Amerika Serikat. Meski negara Paman Sam itu dinilai sebagai negara demokrasi yang indeks demokrasinya terkategori maju, namun negara yang kini dipimpin oleh Joe Biden itu mengalami persoalan serius berupa perpecahan dan disintegrasi sosial ekstrem.
Perpecahan dan disintegrasi sosial ekstrem itu bukan tanpa sebab. Sebab utama perpecahan dan disintegrasi sosial yang teridentifikasi secara terang adalah politik kesukuan (tribalisme politik) yang dimainkan oleh Donald Trump pada Pilpres 2017 lalu. Mantan Presiden AS dari Partai Republik itu, di samping mengidentifikasi diri sebagai perwakilan dari warga kulit putih, dirinya juga tak segan-segan mengeluarkan statment rasis yang secara politik, memojokkan dan menyudutkan warga kulit hitam di AS. Statemen-statemen rasis Donald Trump itu kemudian memantik kemarahan warga kulit hitam. Sehingga, perpecahan sosial antara warga kulit putih dan warga kulit hitam pun menjadi tak terhindarkan.
Politik identitas dan ujaran kebencian adalah ancaman nyata bagi masa depan demokrasi Indonesia. Yang jika terus dibiarkan berlarut, akan menghancurkan tatanan demokrasi kita. Hal ini sudah terjadi di banyak negara, di mana demokrasi mengalami kehancuran akibat masifnya politik identitas. Sebut saja Amerika Serikat. Meski negara Paman Sam itu dinilai sebagai negara demokrasi yang indeks demokrasinya terkategori maju, namun AS mengalami persoalan serius berupa perpecahan dan disintegrasi sosial ekstrem.
Perpecahan dan disintegrasi sosial ekstrem itu bukan tanpa sebab. Sebab utama perpecahan sosial yang teridentifikasi secara terang adalah politik kesukuan (tribalisme politik) yang dimainkan oleh Donald Trump pada Pilpres 2017 lalu. Mantan Presiden AS dari Partai Republik itu, di samping mengidentifikasi diri sebagai perwakilan dari warga kulit putih, dirinya juga tak segan-segan mengeluarkan statment rasis yang secara politik, memojokkan dan menyudutkan warga kulit hitam di AS. Statemen-statemen rasis ala Donald Trump itu pun kemudian memantik kemarahan warga kulit hitam. Sehingga, gejolak dan perpecahan sosial antara warga kulit putih dan warga kulit hitam pun menjadi tak terhindarkan.
Tidak berhenti di Pilpres 2017, hal yang sama kembali dilakukan Donald Trump pada Pilpres 2020. Sesaat setelah dirinya dinyatakan kalah dalam Pilpres 2020, ia menuduh bahwa Pilpres 2020 dilakukan dengan curang dan meminta pendukungnya mengambil alih negara dengan cara mereka sendiri. Tak pelak, kerusuhan pun terjadi pada 6 Januari 2021. Aksi demonstrasi besar-besaran yang mengepung Gedung Putih, sebuah gedung yang merupakan simbol dari kebesaran demokrasi AS itu mengakibatkan lima orang harus meregang nyawa.
Menurut Komisi yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyelidiki serangan 6 Januari 2021 di Capitol, gedung Kongres AS, menemukan serangan itu secara langsung disebabkan oleh mantan Presiden Donald Trump dan merupakan tindakan terakhir dalam konspirasi untuk membatalkan hasil sah Pilpres AS 2020.
Laporan penyelidikan yang dilakukan selama lebih dari 17 bulan tersebut merupakan hasil penyortiran bukti yang dikumpulkan dari ribuan wawancara saksi, dokumen dan komunikasi elektronik yang diperoleh melalui perintah pengadilan. Menurut komisi itu, “Bukti itu telah mengarah pada kesimpulan langsung: Penyebab utama serangan 6 Januari adalah satu orang, mantan Presiden Donald Trump, yang diikuti banyak orang lainnya. Tak satu pun dari peristiwa 6 Januari akan terjadi tanpa dia.” (Kompas.com).
Apa yang dialami AS dalam dua kali Pilpres itu adalah bukti bahwa politik identitas adalah ancaman nyata terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Karena itu, hal itu harus menjadi pelajaran dan catatan berharga bagi partai politik peserta Pemilu 2024 untuk menjauhi politik identitas. Apa pun alasannya, politik identitas tidak bisa dibenarkan.