KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) merupakan kelompok separatis yang berkeinginan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ditengarai alasan berdirinya karena ketidakpuasan terhadap perlakuan pemerintah pusat.
Namun beberapa tahun terakhir terlihat janggal. KKB semakin hari kian brutal. Tidak hanya menyerang aparat keamanan seperti Polri atau TNI, masyarakat umum menjadi sasaran kekejaman KKB. Tenaga medis tak luput pula dari aksi brutal mereka. Bahkan pernah membajak helikopter yang akan membawa berobat seorang nenek-nenek dan mereka meminta tebusan.
Tak cukup sampai di situ, KKB juga pernah melakukan penyerangan terhadap para pekerja, seperti yang dilakukan terhadap karyawan PT. Palapa Timur Telematika tahun 2022 silam saat mengerjakan tower di distrik Mulia, Puncak Jaya, Papua. Teranyar KKB membakar pesawat Susi Air dan menyandera pilotnya. Penyanderaan itu masih berlangsung hingga detik ini.
Melihat gejala seperti itu, menjadi nyata kalau KKB tidak murni melakukan gerakan perjuangan untuk masyarakat Papua secara keseluruhan atau sebagian besar. Ada faktor lain yang disembunyikan oleh kelompok KKB yang dikomandoi oleh Egianus Kogoya ini. Maka, tidak salah dan tidak mengada-ada kalau menyebut KKB sebagai separatis.
Separatisme dalam Hukum Fikih dan Sanksinya
Dalam agama Islam, separatis seperti KKB yang jelas-jelas melawan pemerintah yang sah disebut bughat atau pemberontak. Ulama Ahlussunah wal Jama’ah sepakat, tidak boleh membangkang terhadap pemimpin yang dhalim dengan cara memerangi selama kedhaliman itu tidak sampai pada level kufur dan pola kepemimpinannya tidak berdasar pada al Qur’an dan hadits.
Perlu dijelaskan, tidak berdasar pada hadits maksudnya tidak sesuai dengan konsep kepemimpinan Rasulullah. Bukan menjalankan pemerintahan suatu negara menggunakan al Qur’an dan hadits sebagai undang-undang formal negara tersebut. Cukup nilai-nilai ajaran Islam terinternalisasi dalam Undang-undang negara. Sebagaimana Rasulullah menggunakan Piagam Madinah sebagai konstitusi resmi negara Madinah.
Kembali kepada pendapat mayoritas ulama Ahlussunah wal Jama’ah tidak boleh melawan pemimpin yang dhalim dengan cara memerangi, maka KKB dalam sudut pandang fikih sangat bertentangan dan dilarang. Jelas-jelas pemimpin dhalim saja tidak boleh ditentang dengan cara diperangi apalagi kalau hanya berdasarkan asumsi.
Alasan mayoritas ulama Ahlussunah wal Jama’ah mengatakan demikian, sebab kebaikan, kesejahteraan dan keadilan yang menjadi cita-cita suatu pemberontakan sifatnya wahm (asumsi), sementara kemudharatan besar sudah jelas sebagai akibat dari pemberontakan.
Satu kaidah mengatakan, “Dar’u al Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbi al Mashalih”, menolak keburukan lebih diutamakan dari pada cita-cita pencapaian maslahat. Keburukan yang timbul akibat pemberontakan sudah pasti, sedangkan tujuan pemberontakan belum tentu terealisasi. Apalagi kalau faktor kepentingan menyertai. Seperti dikatakan oleh Abdul Qadir Audah dalam al Tasyri’ al Jina’i.
Lebih lanjut dikatakan oleh Audah, apabila kelompok separatis telah jelas memiliki kekuatan senjata dan pengikutnya terbilang banyak, ada yang memimpin, jelas membelot dan memiliki motivasi tertentu, maka pemerintah wajib menumpasnya.
KKB jelas memenuhi syarat-syarat di atas. Maka, seandainya pemerintah Indonesia tegas ingin menumpas KKB dengan cara represif menggunakan kekuatan senjata tidak bertentangan dengan aturan hukum Islam.
Namun selama masih bisa diupayakan perdamaian dengan jalan perundingan, kemudian KKB masih memiliki niat baik untuk menciptakan perdamaian, maka tentu hal itu lebih baik. Jadi, tindakan persuasif tetap harus diutamakan selama itu masih mungkin.
Seperti termaktub dalam kitab Kifayah al Akhyar (I, 159, al Lubab fi Syarhi al Kitab (III, 154), al Fiqh al Manhaji (III, 460) dan al Tasyri’al Jina’i (II, 689), sebelum melakukan penumpasan terhadap pemberontak harus lebih dulu melakukan hal-hal berikut.
Pertama, mengirimkan juru runding untuk mengupayakan perdamaian serta mengetahui tuntutan mereka sebenarnya. Kalau ada kelemahan pemerintah berdasarkan penyampaian kelompok pemberontak, maka pemerintah harus bersedia sesegera mungkin memperbaikinya.
Kedua, memberi nasihat dan peringatan tegas. Kalau masih bersikeras ingin memberontak, tidak ada jalan lain kecuali menumpas mereka dengan kekuatan senjata.
Ketiga, pemerintah tidak boleh memulai peperangan kecuali mereka memulai lebih dulu. Memulai lebih dulu seperti melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan atau melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyat. Termasuk penyanderaan dan semacamnya.
Pada saat penumpasan dengan kekuatan senjata, Islam tetap mengedepankan cara-cara beradab. Dalam proses penumpasan pemberontak pemerintah wajib memperhatikan beberapa hal. Yakni, orang yang terluka tidak boleh dipercepat kematiannya, tidak boleh menjarah harta, yang melarikan diri tidak boleh dikejar dan tidak boleh menyiksa apalagi membunuh tawanan.
Abdul Qadir Ahmad Atha’ dalam Hadza Halal wa Hadza Haram menambahkan, harus menjamin keselamatan anak-anak dan penduduk yang tidak terlibat sebagai pemberontak. Tindakan pembunuhan terhadap masyarakat yang tidak terlibat adalah tindakan terkutuk dan merupakan perbuatan dosa. Tindakan seperti itu hanya bisa ditolerir disaat adanya kesulitan untuk membedakan antara pemberontak dan rakyat sipil. Seperti disaat peperangan di malam hari.
Begitulah tuntutan agama Islam menyikapi kelompok separatis atau pemberontak. Persuasif, kemudian represif. Melihat gerakan KKB yang kian hari kian membuktikan mereka sebagai kelompok yang jelas-jelas ingin memisahkan diri, melakukan tindakan biadab terhadap warga dan Egianus Kogoya sebagai pemimpin yang mereka taati, tentu sudah layak disebut bughat atau pemberontak.
Karena itu, pemerintah Indonesia harus tegas melakukan upaya penanganan terhadap KKB. Pemerintah tidak boleh ragu untuk mengambil tindakan tegas terhadap KKB. Tentu dengan memperhatikan apa yang telah disampaikan di atas.