Beberapa waktu lalu, Kepala BNPT Komjen. Pol. Boy Rafli Amar mengeluarkan pernyataan bahwa ada partai politik yang petingginya diketahui terafiliasi dengan gerakan teroris tidak lolos verifikasi KPU untuk ikut Pemilu 2024. Pernyataan itu tentu mengagetkan kita semua. Sebelumnya, kita mengira bahwa ranah politik praktis cenderung steril dari anasir radikalisme-terorisme. Nyatanya tidak demikian.
Parpol yang pengurusnya terafiliasi jaringan terorisme memang akhirnya tidak lolos verifikasi KPU. Namun, fakta bahwa ada parpol yang petingginya ada kaitan dengan gerakan radikal-teroris tentu menjadi keprihatinan sekaligus kewaspadaan bersama. Fakta ini sekaligus juga menunjukkan adanya pergeseran pola strategi gerakan radikal-teroris. Dari yang tadinya berjuang di jalur non-demokratis, yakni melalui gerakan bawah tanah, kini mulai adaptif dengan sistem demokrasi.
Namun demikian, ini tidak lantas dapat diartikan bahwa kelompok radikal-teroris itu sudah menerima sistem demokrasi. Mereka pada dasarnya hanya menunggangi demokrasi untuk tujuan pragmatis-ideologis mereka. Yakni merebut kekuasaan untuk kemudian mengganti dasar falsafah negara dan sistem pemerintahan sesuai kehendak mereka. Pendek kata, mereka “terpaksa” memakai cara-cara demokratis untuk tujuan membunuh demokrasi itu sendiri.
Faktor Internal dan Eksternal di Balik Perubahan Pola Strategi Gerakan Radikal
Perubahan pola strategi gerakan radikal-teroris ini sebenarnya tidak sama sekali baru. Melainkan sudah terjadi sejak kurang lebih satu dekade belakangan. Seperti kita lihat, gerakan radikal-terorisme tidak lagi hanya mengandalkan gerakan bawah tanah, yakni indoktrinasi, rekrutmen, dan aksi kekerasan yang masif dan berkelanjutan. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka cenderung “melunak” dan lebih memfokuskan strategi gerakan melalui propaganda terutama di media sosial.
Ada sejumlah faktor mengapa gerakan radikal-terorisme ini mengalami perubahan pola. Faktor pertama, dari sisi eksternal kejatuhan ISIS di Irak dan Suriah beberapa tahun lalu menjadi pukulan telak bagi gerakan radikalisme-terorisme secara global. Kelompok-kelompok teroris yang selama ini berafiliasi dengan ISIS seolah kehilangan patron alias panutan. Aliran dana dari ISIS ke sejumlah organisasi teroris lokal pun tersendat. Alhasil, gerakan radikalisme-terorisme seolah matisuri dan mengalami kebangkrutan. Meski demikian, organisasi radikal-teroris di banyak negara, termasuk Indonesia tidak pernah benar-benar musnah. Mereka hanya tiarap dan mati suri untuk menunggu momentum kebangkitannya kembali.
Faktor kedua, dari sisi internal, ketatnya regulasi pemerintah tentang gerakan terorisme serta sigapnya aparat keamanan memberangus jaringan kelompok radikal harus diakui cukup efektif meredam aksi-aksi teror dan kekerasan. Ruang gerak teroris menjadi sempit, bahkan nyaris tidak tersisa. Ketiadaan ruang gerak ini yang membuat sel-sel jaringan terorisme seolah tidak berkutik dan sulit merencakan aksi teror dalam skala besar dan masif. Maka, dalam beberapa tahun belakangan, aksi-aksi teror lebih banyak dilakukan tanpa perencanaan matang, dilakukan oleh aktor tunggal (lone wolf terrorism), dan dalam skala kecil.
Memasuki pesta demokrasi 2024, tampaknya kelompok radikal-teroris kembali mengubah strategi perjuangannya. Mereka tidak lagi hanya melakukan propaganda di media sosial, namun juga berusaha ikut bagian dalam kontestasi politik praktis. Yakni dengan mendirikan parpol dan mendaftarkannya untuk ikut Pemilu 2024. Meski akhirnya tidak lolos verifikasi, namun hal ini membuktikan bahwa gerakan radikal-teroris terus berevolusi dan beradaptasi dengan sistem yang berlaku.
Waspada Kamuflase dan Metamorfosis Gerakan Radikal
Di dalam kajian teori sosial, apa yang dilakukan oleh gerakan radikal-teroris ini merupakan bagian dari apa yang dinamakan sebagai strategi kamuflase adaptatif. Yakni ketika sebuah gerakan berusaha mengkamuflasekan diri dengan jalan beradaptasi dengan kondisi sosial-politik dengan tujuan diterima oleh masyarakat atau masuk ke dalam sistem. Ketika berhasil masuk ke dalam sistem, mereka akan berusaha menempati posisi strategis, lalu mengambil alih kekuasaan dan mengubah sistem secara keseluruhan.
Pola strategi yang demikian ini jelas berbahaya jika tidak diwaspadai sejak awal. Maka dari itu, segenap komponen bangsa harus punya mekanisme deteksi dini terhadap perubahan strategi kelompok radikal-teroris ini. Lebih spesifik dalam konteks verifikasi parpol, KPU sebagai lembaga berwenang idealnya harus lebih jeli dalam menilai kelayakan sebuah parpol dalam mengikuti Pemilu. Artinya, verifikasi parpol idealnya tidak hanya mengacu pada keterpenuhan syarat administratif, namun juga mempertimbangkan latar belakang para pendiri, ketua, dan pengurusnya.
Bisa jadi, ada parpol yang dari luar mengaku berideologi nasionalis, namun di dalamnya berisi sosok-sosok yang dekat dengan jaringan teroris. KPU sebagai lembaga verifikator parpol peserta Pemilu harus benar-benar jeli dan tidak boleh kecolongan. Tentu, KPU tidak bisa bekerja mandiri. Diperlukan sinergi dengan stakeholder lain, seperti BNPT, lembaga keagamaan, atau jaringan masyarakat sipil lainnya. Dengan sinergi antar-pihak itu, diharapkan proses verifikasi parpol bisa lebih maksimal. Terutama dalam menyaring parpol yang terafiliasi jaringan terorisme.
Dalam konteks yang lebih luas, kita harus waspada dengan perubahan pola strategi kelompok radikal-teroris. Selama ini, gerakan radikal-teroris identik sebagai gerakan yang lihai beradaptasi dan pintar berkamuflase serta canggih dalam menyusun tipu-muslihat. Mereka bisa berubah-ubah bentuk, nama, dan kemasan. Namun, apa yang mereka perjuangan tetap sama; mengganti falsafah bangsa dan sistem pemerintahan dengan jalan merebut kekuasaan dari otoritas yang sah. Inilah yang patut diwaspadai bersama.