Perbedaan Hari Idul Fitri; Stop Politisasi, Perkuat Toleransi

Perbedaan Hari Idul Fitri; Stop Politisasi, Perkuat Toleransi

- in Narasi
734
0
Perbedaan Hari Idul Fitri; Stop Politisasi, Perkuat Toleransi

Perayaan Idul Fitri 1444 H atau 2023 M kemungkinan besar akan berbeda antara Muhammadiyah dan Pemerintah. Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri 1444 H jatuh pada Jumat 21 April 2023. Penetapan itu didasarkan pada metode perhitungan ru’yatul hisab. Yakni metode penentuan awal bulan dengan perhitungan astronomis dan matematis. Melalui metode ini, awal bulan bisa ditentukan sejak jauh hari.

Berbeda dengan Muhammadiyah, pemerintah belum memutuskan kapan hari Idul Fitri. Pemerintah baru akan menggelar sidang isbat penentuan awal Syawal pada Jumat 21 April 2023. Kemungkinan besar, Idul Fitri jatuh pada hari Sabtu 22 April 2023. Fenomena perbedaan hari Idul Fitri ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Umat Islam sebenarnya juga sudah terbiasa dengan perbedaan penentuan Idul Fitri tersebut.

Namun, belakangan perbedaan hari Idul Fitri itu menimbulkan persoalan. Sebagaimana ramai diberitakan sejumlah media, sejumlah pemerintah daerah tidak memberikan ijin pelaksanaan sholat Ied bagi jemaah Muhammadiyah di berbagai fasilitas umum milik pemerintah seperti lapangan dan sebagainya. Antara lain Pemkot Pekalongan yang menolak memberikan ijin penggunaan Lapangan Mataram untuk sholat Ied warga Muhammadiyah.

Hal yang sama dilakukan Pemkot Sukabumi yang menolak Lapangan Merdeka digunakan sholat Ied warga Muhammadiyah pada 21 April 2023 mendatang. Isu ini bergulir liar di media sosial. Tampak ada upaya untuk mempolitisasi isu ini demi memecah belah umat dan mengadu-domba antara Muhammadiyah dan pemerintah. Di media sosial mulai beredar narasi bahwa pemerintah, terutama Kementerian Agama yang saat ini dipimpin oleh tokoh dari kalangan Nahdlatul Ulama, bertindak diskriminatif terhadap Muhammadiyah.

Perbedaan Idul Fitri Rawan Dipolitisasi Kelompok Konservatif-Radikal

Suara-suara sumir itu datang dari eksponen Islam konservatif-radikal yang memang selalu menunggangi isu apa pun untuk menimbulkan gesekan sosial. Saban ada isu yang memantik polemik publik, kelompok konservatif-radikal ini tidak pernah absen dalam menebar narasi provokasi dan adudomba. Tujuannya apalagi jika bukan memecah belah umat dan mendelegitimasi pemerintah dengan bermacam fitnah. Termasuk dalam hal polemik perbedaan hari Idul Fitri antara Muhammadiyah dan pemerintah.

Idulfitri idealnya menjadi momentum bersama dan ajang suka-cita umat Islam. Ihwal perbedaan penentuan awal Syawal yang memang sudah ada sejak lama kiranya tidak perlu dibesar-besarkan. Cukuplah hal-hal khilafiyah itu menjadi sesuatu yang memperkaya khazanah pemikiran dan peradaban Islam. Perbedaan idealnya menjadi rahmat, bukan menjadi sumber pecah-belah umat. Perdebatan tentang metode hisab dan rukyat kiranya sudah final.

Kedua metode dianggap sama-sama sahih dalam hukum Islam (fiqih). Yang terpenting sekarang ialah bagaimana agar perbedaan itu tidak menimbulkan friksi di kalangan umat Islam itu sendiri. Disinilah peran penting para tokoh agama yang berkompetensi untuk menjelaskan pada umat awam ihwal apa perbedaan antara hisab dan rukyat sehingga menimbulkan beda persepsi ihwal penentuan awal bulan Syawal. Tersebab, banyak umat Islam yang belum memahami perbedaan kedua metode sehingga mudah dipengaruhi oleh narasi menyesatkan.

Pentingnya Toleransi Internal dan Komitmen Pemerintah Daerah Mewujudkan Kebebasan Beragama

Di saat yang sama, di kalangan umat Islam sendiri perlu dibangun kesadaran untuk mempraktikkan toleransi internal. Sikap saling menghargai antar-berbagai aliran, mazhab, golongan, maupun organisasi di internal Islam ini sangat penting. Umat harus memahami bahwa secara akidah, prinsip Islam hanya satu yakni tauhid. Dalam artian mengakui keesaan Allah. Namun, dalam hal peribadatan apalagi muamalah sosial, Islam tidak memiliki berbagai aliran dan mazhab yang berbeda-beda. Hal itu berangkat dari penafsiran atas teks agama (Alquran dan Hadist) yang berbeda-beda.

Selama itu tidak menyangkut akidah atau tauhid, maka perbedaan yang sifatnya khilafiyah itu harus disikapi rasional dan bijak. Saling menghormati tafsir masing-masing golongan ialah jalan paling mudah untuk menyudahi polemik yang rawan ditunggangi kelompok tertentu. Terlebih di tahun politik yang panas ini, segala macam isu begitu mudah untuk dipolitisasi demi kepentingan pragmatis.

Tidak kalah penting dari itu semua ialah pemerintah (negara) harus hadir dalam menjamin kebebasan beragama semua warganya. Termasuk hak warga Muhammadiyah untuk melaksanakan sholat Ied lebih awal berdasarkan metode ruyatul hisab yang mereka yakini. Pemerintah daerah sebagai otoritas tertinggi yang mengatur kehidupan di level provinsi, kabupaten, atau kota idealnya taat pada konstitusi dalam menjamin kebebasan beragama semua warganegara.

Alih-alih menghalangi, pemerintah daerah idealnya justru memfasilitasi jemaah Muhammadiyah yang ingin melaksanakan sholat Ied 1444 H lebih awal. Ini bukan berarti pemerintah daerah mengabaikan keputusan pemerintah pusat yang memutuskan Idul Fitri jatuh pada Sabtu 22 April 2023. Sebaliknya, memfasilitas warga Muhammadiyah untuk merayakan Idul Fitri lebih awal adalah bukti bahwa pemerintah daerah berkomitmen menegakkan konstitusi terutama menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warganegara.

Facebook Comments