Euforia Idul Fitri; AntaraTahun Politik dan Rekonsiliasi Kebangsaan

Euforia Idul Fitri; AntaraTahun Politik dan Rekonsiliasi Kebangsaan

- in Narasi
760
0
Euforia Idul Fitri; AntaraTahun Politik dan Rekonsiliasi Kebangsaan

Euforia Idul Fitri mulai terasa di seluruh penjuru Indonesia. Jalanan mulai sesak oleh pemudik. Pasar ramai orang berbelanja kebutuhan lebaran. Masjid tak pernah sepi dari jamaah yang beritikaf. Seluruh umat Islam mengais pahala di hari-hari terakhir Ramadan sembari bersuka-cita menyambut datangnya Lebaran.

Ketimbang negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lain, perayaan Idul Fitri di Indonesia terbilang lebih meriah. Ini terjadi karena dua alasan. Pertama, Idul Fitri secara keagamaan merupakan hari kemenangan umat Islam setelah melalui bulan Ramadan. Idul Fitri juga dianggap sebagai puncak perjalanan spiritual yang mengantarkan manusia kembali ke hakikatnya sebagai makhluk yang suci.

Kedua, selain momentum keagamaan, Idul Fitri juga merupakan hajatan kultural kolosal yang melibatkan masyarakat lintas-golongan. Idul Fitri dalam konteks Indonesia tidak hanya menjadi milik umat Islam saja. Namun, juga dirayakan oleh seluruh masyarakat. Dengan kata lain, Idul Fitri telah menjadi semacam festival kebudayaan yang menyatukan semua golongan masyarakat.

Tahun ini, perayaan Idul Fitri berlangsung dalam momen tahun politik jelang Pemilu dan Pilpres 2024. Panasnya suhu politik jelang pesta demokrasi 2024 harus diakui cukup berpengaruh pada munculnya gejolak dan gesekan sosial di masyarakat. Di titik ini kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa residu polarisasi Pilpres 2019 lalu tampaknya belum sepenuhnya hilang.

Tahun Politik dan Langgengnya Sentimen Kebencian

Sentimen kebencian akibat perbedaan politik tampaknya masih berusaha dilanggengkan oleh sejumlah kalangan. Sentimen kebencian yang mengeksploitasi sentimen identitas terutama agama ini terus menjadi senjata politik untuk memecah-belah publik. Konsekuensinya, masyarakat hidup dalam relasi sosial yang diwarnai perasaan curiga bahkan benci.

Fenomena yang tampak belakangan ini kiranya mengonfirmasi asumsi tersebut. Jagad media sosial misalnya, nyaris saban hari riuh oleh debat kusir ihwal dukung-mendukung elite politik secara membabi-buta. Berbagai ungkapan caci-maki pun bertebaran. Bahkan hoaks dan fitnah pun terus didaur-ulang untuk mengadu-domba masyarakat.

Di tengah memanasnya suhu politik nasional ini, datangnya perayaan Idul Fitri kiranya mampu menjadi oase penyejuk bagi masyarakat Indonesia. Idul Fitri dengan demikian harus menjadi momentum untuk mewujudkan silaturahmi kebangsaan sekaligus rekonsolidasi nasional untuk menghapus polarisasi. Seperti kita tahu, Idul Fitri di Indonesia selalu identik dengan sejumlah tradisi. Antara lain mudik, silaturahmi, dan halal bi halal. Tradisi simbolik Idul Fitri itu kiranya bisa dimaknai ke dalam konteks silaturahmi dan rekonsiliasi Kebangsaan.

Mudik yang berarti pulang sejenak ke tanah kelahiran bisa dimaknai bahwa sejatinya kita punya akar yang sama, yakni Indonesia. Dimana pun sekarang kita tinggal dan apa pun posisi atau afiliasi politik kita hari ini, akar kultural kita tetap sama, yakni Indonesia. Ritual mudik seharusnya menyadarkan kita bahwa manusia Indonesia memiliki cultural-DNA yang sama. Perbedaan afiliasi politik tidak akan menghapus cetak biru cultural-DNA yang membentuk jatidiri kita.

Demikian pula silaturahmi yang identik dengan Idul Fitri kiranya bisa dimaknai sebagai sebuah ikhtiar merekatkan relasi kebangsaan yang sempat renggang. Dalam konteks yang sempit, silaturahmi kerap dimaknai sebagai upaya menjalin persaudaraan dan ikatan kekeluargaan. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas, silaturahmi kiranya bisa dimaknai sebagai upaya menyatukan masyarakat yang selama ini mengalami segregasi dan polarisasi akibat perbedaan pilihan politik.

Idul Fitri Sebagai Momentum Rekonsiliasi Nasional

Terakhir, tradisi halal bi halal yang bermakna saling memaafkan antar-individun seharusnya juga bisa diperluas maknanya dalam konteks kebangsaan. Halal bi halal dalam tafsiran yang luas bisa dimaknai sebagai upaya rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi adalah upaya resolusi konflik berbasis kesadaran pihak-pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan, merasa bersalah, dan mencari titik temu bersama sebagai solusi.

Rekonsiliasi kebangsaan ini menjadi penting untuk memastikan pesta demokrasi 2024 berjalan kondusif dan steril dari provokasi serta adu-domba. Idul Fitri 1444 H ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan rekonsolidasi nasional. Dimulai dari para elite politik dan tokoh masyarakat yang selama ini kerap berseteru di ruang publik. Hendaknya mereka mengakhiri perseteruan dan membangun budaya kontestasi politik yang sehat.

Tidak kalah pentingnya adalah masyarakat di level akar rumput untuk mentransformasikan diri dari kultur fanatisme menjadi inklusivisme. Fanatik baik dalam hal agama maupun politik selalu berkonotasi negatif. Kecintaan berlebihan apalagi membabi-buta mendekati level pengkultusan, pada tokoh politik maupun tokoh agama ialah jalan menuju sikap intoleran.

Maka, penting kiranya masyarakat membangun kesadaran bahwa kita adalah bagian dari rumpun kebangsaan yang besar. Di dalamnya ada entitas yang berbeda suku, bahasa, budaya, agama, dan pilihan politik. Tugas kita bukanlah menyeragamkan mereka ke dalam satu warna. Melainkan bagaimana tiap entitas itu bisa hidup harmonis; saling menjaga, dan memahami.

Arkian, selamat Idul Fitri 1444 H. Semoga euforia Idul Fitri tahun ini mampu melahirkan gerakan silaturahmi dan rekonsiliasi kebangsaan. Dengan begitu, kita patut optimistik tahun politik 2023 dan hajatan demokrasi 2024 akan berjalan kondusif dan steril dari narasi provokasi, adu-domba, dan ujaran kebencian. Semoga!

Facebook Comments