Dakwah Moderasi dalam Qs. An-Nahl:125

Dakwah Moderasi dalam Qs. An-Nahl:125

- in Keagamaan
474
0
Dakwah Moderasi dalam Qs. An-Nahl:125

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebat-lah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk

(Qs. An-Nahl:125)

Dakwah menyampaikan ajaran-Nya dengan hikmah dan pengajaran (kualitas pengetahuan agama) yang baik pada dasarnya sebagai satu konklusi teologis. Bahwa, dakwah bukan sekadar perkara halal-haram apalagi mudah mengafirkan orang lain.

Ada 2 makna subtansial yang dapat kita pahami di balik ayat di atas. Pertama hikmah memiliki korelasi ke dalam kebijaksanaan melihat realitas tatanan manusia. Pengajaran yang baik adalah bentuk-bentuk metodologis dalam dakwah yang bisa mengajarkan baik-buruk dan maslahat mudharat seperti di tengah keragaman di negeri ini.

Misalnya, dalam konteks dakwah (bil hikmah), Nabi Muhammad SAW menegaskan ke dalam orientasi dakwah yang tidak bersifat eksklusif, subjektif dan sempit pada suatu kaum/golongan saja. Melainkan mampu mengajak umat manusia ke jalan Tuhan yang benar. Sebagaimana, kebenaran jalan Tuhan yang Saya amati dalam konteks perilaku sosial, selalu cenderung memerintahkan manusia agar tidak memecah-belah, menjaga persatuan, penuh tolerant dan penuh kedamaian.

Dakwah bil hikmah lebih condong mendasari pokok dakwah yang harus dibekali dengan (ilmu pengetahuan). Dalam arti fungsional, paham/mendalami segala bentuk entitas hukum Tuhan, menyerukan yang benar dan menjauhi yang salah. Serta bisa menyampaikan ajaran agama sebagai sesuatu yang bermanfaat dan membawa dampak maslahat, terhindar dari kemudharatan.

Model dakwah yang disarankan Al-Qur’an ini sebetulnya menitik-berat-kan pada dakwah yang berkualitas dalam menyampaikan ajaran agama. Sebab, banyak orang dengan “kadar pemahaman agama” yang pas-pasan sering-kali mudah mengafirkan dan bahkan selalu memunculkan sikap kebencian serta penuh intolerant.

Banyak para mufasir yang meniscayakan dakwah (hikmah) itu mampu menjembatani antara (kebenaran teologis) sebagai ajaran pokok agama. Dengan melihat/mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi, seperti di tengah kemajemukan. Sehingga, muncul semacam nurani teologis yang meniscayakan konsep dan prinsip dakwah tolerant di tengah keragaman.

Selain itu, prinsip dakwah (mau’idatul hasanah) pada dasarnya bukan hanya sempit ke dalam konteks dakwah untuk umat Islam saja. Sebab, tantangan pendakwah di tengah keragaman adalah mempertimbangkan segala sesuatu yang diucapkan. Ucapan-ucapan yang baik dalam konteks prinsip di atas pada dasarnya mengacu ke dalam wilayah etis agar tidak menyakiti apalagi melukai orang lain. Seperti dalam konteks keragaman, dakwah penuh intolerant dan provokasi pemecah-belah bukan sebagai satu pola ideal dakwah mau’idatul hasanah itu.

Seperti yang dipraktikkan Nabi, dakwah mau’idatul hasanah itu mengacu ke dalam sebuah kondisi, di mana kita berbicara agama, namun memikirkan apakah yang kita bicarakan akan membawa dampak mudharat apa tidak. Dakwah yang sifatnya mau’idatul hasanah tak akan pernah membuat orang lain merasa gelisah, penuh ketakutan dan penuh kemudharatan.

Dakwah dengan prinsip mau’idatul hasanah lebih memosisikan agama dapat diterima bukan sebagai paksaan, melainkan cahaya dan kenyamanan. Misalnya, jika kita berdakwah lalu apa yang kita sampaikan dianggap baik “menurut kita” akan tetapi menyakiti umat agama lain. Maka, dakwah yang semacam ini telah menyalahi prinsip dakwah mau’idatul hasanah itu sendiri dan perlu dibuang jauh-jauh.

Dakwah mau’idatul hasanah itu pada dasarnya ingin menyampaikan (ajaran-Nya) tidak lagi sebagai sesuatu yang sifatnya beban dan penuh paksaan. Prinsipnya, mengajak seluruh umat manusia agar masuk dalam kebenaran-Nya dalam kehidupan mereka. Maka, nilai agama yang objektif semacam ini pada dasarnya menjadi satu korelasi aktif bagaimana letak fungsi agama sebagai nilai maslahat bagi peradaban.

Dakwah mau’idatul hasanah memiliki orientasi, melunakkan hati yang bebal. Membuat orang yang penuh amarah dan kebencian menjadi tersenyum penuh kasih-sayang. Membuat orang yang doyan berpecah-belah, agar bisa menjadi damai. Sebab, dakwah pada dasarnya mengubah karakter, perilaku dan segala watak keburukan agar menjadi lebih baik.

Dari sinilah pentingnya prinsip dakwah bil hikmati wal mau’idatil hasanati sebagai satu paradigma penting. Dalam menjaga keragaman agar tetap saling menghargai. Sebagaimana dalam pemaparan di atas, tugas pendakwah adalah membuat orang yang asalnya penuh kebencian menjadi penuh kasih-sayang. Termasuk dalam konteks membuat umat menjadi lebih menghargai di tengah keragaman.

Facebook Comments