Seorang perempuan yang berhijab dan berkaos ketat hitam tiba-tiba mendamprat seorang lelaki yang tampak tak rapi di sebuah keramaian. “Seandainya saja kau nurut padaku, tak akan seperti ini keadaanmu!” kata perempuan yang tampak sebagai seorang ahli ekonomi itu.
Sejak pasca pilpres 2014, dan menguat menjelang 2019, “Islam” cenderung selalu dibawakan untuk tampak rapi, mapan, dan seolah lebih benar untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia. Dan bahkan, “kebohongan” semacam ini sampai masuk pada kehidupan privat seperti keluarga.
Pada tahun 2020, BNPT pernah melakukan kajian tentang radikalisme dan terorisme di Indonesia yang, sampai akhir tahun itu, menunjukkan tiga karakteristik yang mendasar: urbanisasi radikalisme, feminisasi radikalisme, dan tingkat literasi yang rendah (Petaka Melankolia: Perihal Kebhinekaan, Kenusasntaraan, Radikalisme dan Terorisme, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2021).
Sangat tampak, berdasarkan hasil kajian BNPT itu, “Islam” telah dinarasikan seolah-seolah berhubungan langsung dengan kemakmuran, kemapanan, dan masa depan yang cerah. Sementara Pancasila kerap diidentikkan dengan kekurangmakmuran, kekurangmapanan, dan masa depan yang suram.
Kisah perempuan dan lelaki yang mengawali esai ini adalah kisah penyingkapan bagaimana selama ini narasi “Islam” dalam relasinya dengan Pancasila dibangun dan bahkan dalam kehidupan privat sekali pun. Keterlibatan perempuan dalam radikalisasi keagamaan di Indonesia memang bukanlah hal yang baru. Menjelang 2019, apa yang pernah saya katakan sebagai “radikalisasi dari bawah,” dengan motto “Tundukkan dahulu isterinya, maka anak dan suaminya akan mengikuti,” cukup menjadi fenomena lumrah yang erat terkait pula dengan peristiwa-peristiwa politik praktis yang turut membentuk polarisasi antara gelombang “Islam” dan gelombang nasionalisme (Radikalisasi dari Bawah: Mengurai Jejaring Radikalisasi Keagamaan di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).
Jelas, ketika menengok kembali kasus perempuan dan lelaki di awal esai ini, sang lelaki tampak dikonstruksikan kurang islami dibanding sang perempuan hanya karena sang lelaki itu kebetulan tak pernah mengaitkan ideal kemakmuran, kemapanan, dan masa depan yang cerah dengan “Islam.”
Pada agenda besarnya jelas, bahwa narasi peninggian Islam adalah juga sebentuk narasi perendahan pada segala hal yang dipandang tak islami, dalam hal ini adalah Pancasila. Perdebatan antara habaib dan kyai-kyai nusantara perihal nasab yang ramai beberapa waktu yang lalu, terang pula adalah penerapan politik oposisi biner semacam ini dimana, secara dekonstruktif, pelebihan atau peninggian kutub yang satu adalah juga sebentuk perendahan atau penistaan pada kutub yang lain. Maka ketika terjadi hal seperti itu, resistensi yang akhirnya memengaruhi perjalanan sebuah sistem adalah hal yang lumrah terjadi pula.
Agama dan negara, Islam dan Pancasila, untuk tak mengalami stagnasi dan disorientasi, mestilah berada pada titik equilibrium. Sebab, secara logis, mustahil eksistensi salah satu kutub terdefinisikan atau dapat terpahami tanpa adanya kutub yang lain. Ide agung “kemurnian” atau “keputihan” jelas adalah motor dari perusakan sistem semacam ini.