Upaya mendelegitimasi Pancasila tampaknya tidak pernah mereda. Berbagai narasi dipakai untuk melemahkan kepercayaan publik pada ideologi bangsa tersebut. Narasi yang umum dipakai adalah persepsi bahwa Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam. Persepsi ini sengaja dibangun untuk membentuk opini negatif tentang Pancasila di kalangan umat Islam.
Belakangan, muncul narasi yang menyebutkan bahwa Pancasila menjadi sumber yang memicu kemiskinan, oligarki, dan korupsi. Penerapan Pancasila, dianggap oleh para pengasong khilafah sebagai faktor yang menimbulkan problem sosial seperti kemiskinan, korupsi, dan oligarki. Di tengah segala tuduhan itu, muncul pula narasi baru yang menyebut bahwa Khilafah adalah solusi alternatif bagi Pancasila.
Klaim bombastis itu tentu harus kita uji bersama. Benarkah khilafah adalah solusi alternatif bagi Pancasila yang sampai hari ini implementasinya harus diakui belum maksimal? Ataukah khilafah justru akan menjadi wacana destruktif yang menghancurkan Pancasila?
Jika dinalar secara obyektif, masih utuhnya NKRI sampai sekarang ini salah satunya merupakan andil besar Pancasila. Bagaimana tidak? Berkali-kali bangsa ini didera konflik dan perpecahan, mulai dari tragedi 65-66, kerusuhan Reformasi, kerusuhan etnis 98-99, sampai terakhir fenomena polarisasi akibat kontestasi politik.
Banyak kalangan memprediksikan Indonesia akan bubar karena tingginya potensi konflik internal. Namun, prediksi itu tidak pernah menjadi realitas. Selama ada Pancasila, selama itu pula Indonesia akan tetap ada.
Kontroversi dan Polemik Khilafah yang Memecah-belah Bangsa
Sebaliknya, meski baru sebatas wacana, khilafah terbukti sudah menimbulkan kontroversi dan polemik yang cenderung provokatif dan memecah-belah bangsa. Tidak hanya bagi masyarakat Indonesia secara umum, bahkan di kalangan internal Islam saja, wacana khilafah masih menjadi perdebatan pelik sampai hari ini.
Model khilafah seperti apa, siapa yang layak didaulat menjadi khilafah, dan pertanyaan sejenis sampai detik ini belum menemukan kata sepakat di kalangan Islam sendiri. Artinya, sebagai wacana, khilafah masih sangat mentah.
Di sini bisa disimpulkan bahwa khilafah bukanlah solusi alternatif bagi Pancasila. Alih-aliu justru menjadi semacam wacana destruktif bagi Pancasila itu sendiri. Kemunculan khilafah tidak akan menjadi problem solver, melainkan troubla maker bagi bangsa.
Dalam konteks kemiskinan, korupsi, dan oligarki, khilafah juga tidak punya kerangka solusi yang jelas. Jika melihat sejarah, di era kejayaan sistem khilafah, problem sosial seperti kemiskinan, korupsi, dan oligarki juga tetap marak. Bahkan, kemunduran Islam di masa kekhalifahan Abbasiyah salah satunya disumbang oleh maraknya korupsi dan nepotisme di lingkungan para penguasa kala itu.
Di masa sekarang, problem kemiskinan, korupsi, dan oligarki seolah tidak ada hubungannya dengan ideologi sebuah negara. Kemiskinan, korupsi dan oligarki selalu ada di negara liberal, sosialiss, bahkan negara Islam sekalipun. Kemiskinan ekonomi dalam sebuah negara dilatari oleh beragam faktor, mulai dari kualitas sumber daya manusia, potensi kekayaan alam, situasi sosial-politik, sampai kebijakan pemerintah.
Banyak negara yang kaya sumber daya alam, namun karena masyarakatnya sibuk berkonflik sesamanya lantaran isu sektarian, lantas terpuruk menjadi negara miskin. Kekayaan alam yang melimpah itu justru dikuasai negara asing karena masyarakatnya terpecah-belah dalam konflik.
Demikian pula, maraknya korupsi bisa terjadi di semua sistem politik. Di negara liberal, korupsi kerap dilakukan oleh individu sebagai ekses dari munculnya sikap serakah (greedy). Di negara sosialis, korupsi kerap dilakukan secara melembaga.
Para pemimpin di negara sosialis kerap menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi seperti memperkaya diri. Lebih ironis lagi, di negara berbasis agama (Islam) korupsi justru dilakukan dengan menjadikan ajaran agama sebagai dalih pembenaran atas tindakan nista tersebut.
Menguatkan Impelementasi Pancasila di Ranah Ekonomi, Birokrasi, dan Politik
Sedangkan oligarki merupakan residu dari ketidaksempurnaan demokrasi liberal. Dalam konteks Indonesia, oligarki muncul karena politik berbiaya tinggi. Untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat, seseorang membutuhkan uang miliaran rupiah demi membiayai ongkos politiknya. Celah inilah yang dimanfaatkan para pemilik modal untuk membangun oligarki.
Mereka menyokong para politisi untuk meraih jabatan strategis dengan kucuran dana berlimpah. Imbalannya pun bermacam, mulai dari kebijakan yang memberikan previlese khusus, sampai pemberian akses khusus pada sumber-sumber kekayaan negara yang seharusnya diprioritaskan bagi publik.
Pendek kata, problem kemiskinan, korupsi, dan oligarki bukan berasal dari penerapan Pancasila. Justru, ketika Pancasila ditetapkan semua problem sosial itu bisa ditekan ke angka paling minimal. Ke depan yang harus dilakukan adalah menguatkan implementasi Pancasila di kehidupan nyata.
Di ranah ekonomi, Pancasila harus hadir sebagai paradigma ekonomi yang menjamin terwujudnya pemerataan kesejahteraan. Harus diakui bahwa selama ini, sistem ekonomi kita kadung mengarah pada sistem kapitalisme liberal. Akibatnya, kesenjangan sosial kian melebar. Kini, saatnya kita kembali ke ekonomi Pancasila berbasis gotong royong.
Di ranah birokrasi dan pemerintahan, Pancasila harus hadir sebagai pedoman etika dan moralitas. Dengan begitu, budaya korupsi yang kadung menjalar di banyak instansi pemerintah bisa diberangus.