Kurban: Menyembelih Keegoan, Merawat Kemanusiaan

Kurban: Menyembelih Keegoan, Merawat Kemanusiaan

- in Narasi
544
0
Kurban: Menyembelih Keegoan, Merawat Kemanusiaan

“Ibrahim bukan diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Ismail, melainkan diperintahkan untuk menyembelih rasa kepemilikan terhadap Ismail.” Demikian kata sebagian ulama.

Artinya titik tekan kurban bukanlah dalam arti fisik-materialnya, yakni menyembelih binatang tertentu, melainkan dia adalah simbol dari penyembelihan ke-Aku-an (dengan A besar).

Sebab, yang boleh memiliki ke-Aku-an hanyalah Allah Sang Pemilik Absolute, sementara manusia hanyalah memiliki ke-aku-an (dengan a kecil) yang nisbi.

Dengan demikian, kurban adalah upaya menyembelih rasa kebegoan: perasaan paling benar, perasaan paling bersih, perasaan memiliki segalanya. Keegoan selalu menghalangi manusia mencapai level kebahagiaan sejati.

Al-Quran sejak dini menyatakan, kurban itu sejatinya bukanlah persembahan atau pengorbanan untuk Tuhan. Sejak dini, Tuhan tidak menerima daging dan darah kurban, melainkan ketakwaan.

Kurban hanyalah sarana dan simbol yang memiliki tujuan dan makna yang tersembunyi. Orang yang hanya sampai pada simbol. Ia hanya sampai pada kulitnya saja. Sebaliknya, orang yang mampu dan bisa sampai kepada makna dan tujuan, ia bisa mencicipi manisnya ajaran kurban.

Kemanusiaan Universal

Jika kita perhatikan narasi yang diberikan oleh para ulama –terutama para sufi –tujuan utama atau makna tersembunyi dari kurban itu hakikanya adalah kemanusian.

Kemanusian yang dimaksud di sini ada dua. Pertama, dengan berkurban berarti memberikan kehidupan kepada manusian lain. Kurban tidak lain adalah simbol penghargaan akan nyama, harga diri, dan martabat kemanusian.

Hewan kurban bukanlah milik orang berkurban, melainkan milik orang lain yang harus segera dibagikan. Pembagian hewan kurban adalah simbolisasi bahwa nyawa, harga diri, dan eksistensi kehidupan manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Kedua, kurban adalah simbolisasi penyembelihan sifat kebinatangan yang bersemayan dalah diri manusia. Tanpa menghilangkan sifat binatangisme ini, niscaya proses memberikan hidup kepada orang lain akan sulit dilaksanakan.

Al-Ghazali dalam kitabnya Kimiya’ al-Sa’adah (Kimia Kebahagian) menyebut, bahwa seseorang itu bisa mencapai puncak kebahagian ketika ia berhasil menundukkan dua nafsu kebinatangan, yaitu nafsu bahimiyah (jinak) dan nafsu subu’iyah (buas).

Nafsu bahimiyah merupakan nafsu jiwa binatang jinak yang mendorong manusia untuk mengambil apa saja yang menyenangkan dirinya. Nafsu syahwat, kesenangan sesaat, hedonistik, dan kenikmatan biologis merupakan bagian dari nafsu ini.

Nafsu ini selalu menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta dan kekuasan yang digunakan untuk memperoleh kenikmatan materialistic. Menurut al-Gazali, nafsu ini sama seperti sifat binatang jinak, sekalipun dipenuhi terus-menerus ia tidak akan pernah puas.

Nafsu subu’iyah adalah nafsu binatang buas. Laik binatang buas, nafsu ini ingin selalu memangsa siapa pun yang di dekatnya. Ia selalu berjaga-jaga agar terhindar dari segala bahaya. Bagi nafsu ini tidak ada aturan, yang ada hanya kemauan dan kesewenang-wenanganya.

Tidak ada kawan, adanya adalah lawan yang mau diterkamnya sewaktu-waktu. Tawuran, sikap brutal, mau menang sendiri, tidak memperdulikan orang lain, intoleransi, aksi terorisme, hoax, dan ujaran kebencian berasal dari nafsu ini.

Dengan demikian, berkurban tentu tidak berhenti hanya sebatas penyembelihan hewan. Penyembelihan hewan hanya sebatas sarana, tujuan akhirnya adalah menyembelih sifat kebinatangan yang terdapat dalam diri kita. Al-Quran sudah mewanti-wanti, Allah tidak akan menerima daging-daging dan darah-darah hewan kurban mereka, akan tetapi yang Allah terima ketakwaan dari kalian.

Membunuh Keegoan

Kurban yang sesungguhnya adalah menyembelih sifat kebegoan dan kebinatangan yang selalu bersemayam dalam diri kita, anak, istri, dan juga famili kita. Penyembelihan hewan adalah simbolisasi penyembelihan jiwa hewani menuju jiwa kemanusiaan yang memberikan kedamaian hakiki dan sejahtera umum dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hakikat berkurban adalah menyembelih dua nafsu ini. Bila ditelusuri lebih lanjut, banyaknya hoax, ujaran kebencian, aksi terorisme, perusakan lingkungan, korupsi, dan segala jenis kejahatan lainnya bersumber dari dua nafsu ini. Nafsu ini selalu menyertai manusia, yang jika tidak dihentikan secara paksa, maka ia akan terus menerus mendikte manusia.

Ada ilustrasi menarik dari Quraish Sihab yang mengibaratkan kedua nafsu ini laiknya bayi yang menyusui kepada ibunya, jika tidak dihentikan bayi itu akan ketagihan dan menyusu terus-menerus tanpa henti. Paksaan untuk berhenti menyusu akan berakibat menangisinya si bayi, tetapi itu hanya sementara, untuk selanjutnya si bayi akan diam lalu tertidur.

Hal yang sama juga pada nafsu kedua nafsu ini, ia tidak akan berhenti jika tidak ada paksaan yang terus menerus dilakukan oleh manusia. Perlawanan harus dilakukan setiap saat. Awalnya memang berat, akan tetapi kalau sudah terbiasa kita yang akan menyetir nafsu kita sendiri, bukan sebaliknya, nafsu yang menyetir kita.

Berkurban adalah salah satu paksaan terhadap diri manusia agar menyembelih nafsu kebinatangan itu. Paksaan ini disimbolkan dengan hewan. Hanya dengan menyembelih sumber kejahatan yang bisa melahirkan kebaikan; hanya dengan cara membuang kotoran yang bisa menimbulkan kesucian; hanya dengan menyingkirkan sikap radikal dan terror yang bisa membuahkan perdamaian.

Berkurban adalah salah satu jalan yang tepat. Sembelilah sikap arogan, mau menang sendiri, intoleransi, dan virus radikalisme itu, niscaya kedamaian dan keharmonisan akan terwujud. Mari menyembelih kedua sifat kebinatangan kita, agar kedamaian segera terwujud.

Facebook Comments