Filosofi Kurban; Memberangus Ekstremisme dan Binatangisme

Filosofi Kurban; Memberangus Ekstremisme dan Binatangisme

- in Narasi
408
0
Filosofi Kurban; Memberangus Ekstremisme dan Binatangisme

Ada sebuah ditulis oleh George Orwel, berjudul Animal Farm. Terjemahan Bahasa Indonesia-nya berjudul Binatangisme. Novel ini berkisah tentang kehidupan dan konflik antar-hewan di sebuah peternakan.

Dikisahkan, babi tua bernama Mayor mencita-citakan kebebasan para hewan dari manusia. Namun, sebelum cita-citanya terwujud, dia keburu meninggal. Dua ekor babi, Napoleon dan Snowball mengambil alih kepemimpinannya.

Singkat kata, dua babi itu berhasil menggulirkan revolusi dan mengusir pemilik peternakan. Napoleon dan Snowball menjadi pemimpin di peternakan itu. Namun, mereka justru menjadi penguasa yang semena-mena. Di saat yan sama, keduanya juga terlibat persaingan berebut kekuasaan.

Akhirnya, Napoleon berhasil mengusir Snowball. Lalu, ia menjadi penguasa tunggal dan memerintah dengan semena-mena. Novel ini adalah satir politik atas revolusi Rusia. Sekaligus juga gambaran akan watak asli manusia yang haus kekuasaan dan rela melakukan apa saja untuk meraihnya. Menariknya, Orwel memakai alegori kehidupan hewan untuk menggambarkan sifat jahat manusia tersebut.

Binatangisme barangkali telah menjadi salah satu problem dan penyakit manusia modern hari ini. Di ranah sosial, binatangisme mewujud pada sikap individualis, egois, dan pragmatis. Sebagian masyarakat hari ini lebih sering mementingkan diri sendiri ketimbang memikirkan kepentingan orang lain. Akhirnya, kita hidup dalam friksi sosial yang akut.

Di ranah politik, sindrom binatangisme mewujud pada munculnya syahwat kekuasaan yang tidak dapat dikendalikan. Politik hari ini nyaris menjadi ajang peperangan berebut kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Para elite berebut kuasa tanpa mengindahkan norma dan etika. Alhasil, seperti kita lihat, panggung politik kita didominasi oleh narasi kebencian dan permusuhan.

Terorisme Sebagai Manifestasi Binatangisme di Ranah Keagamaan

Sedangkan di ranah agama, sindrom binatangisme mewujud ke dalam cara pandang dan praktik keagamaan yang menjurus pada nalar konservatisme, radikalisme, dan ekstremisme. Yakni nalar keberagaman yang sempit, kaku, dan intoleran serta menghalalkan cara kekerasan kepada kelompok yang berbeda. Ekstremisme adalah momok menakutkan yang menjadi akar dari fenomena terorisme.

Fenomena terorisme berlatar agama adalah sebuah ironi. Bagaimana bisa agama yang ajarannya berorientasi pada cinta kasih justru menjadi sumber kekerasan dan terorisme? Agama tentu tidak ada dalam posisi salah. Manusia, terutama kelompok ekstremis lah yang salah dalam menafsirkan ajaran agama.

Ekstremisme sebagai sebuah femomena sosial, politik sekaligus gejala psikologis tentu harus ditanggulangi dengan beragam pendekatan. Selain pendekatan hukum dan keamanan, serta mengembangkan paradigma moderat dalam beragama, ekstremisme juga bisa dicegah melalui pemaknaan atas ajaran agama dan praktik peribadatan itu sendiri.

Salah satunya adalah pemaknaan filosofis ihwal hakikat ibadah kurban yang kita laksanakan setiap tahun di momen Idul Adha dan hari tasyrik. Selama ini, harus diakui bahwa ibadah kurban masih kerap dimaknai secara simbolik oleh sebagian besar umat Islam. Bahkan, ibadah kurban kerapkali hanya menjadi ajang pencitraan dan membangun presitis diri.

Misalnya, masih ada umat Islam yang kerap memamerkan hal tidak subtantif dari ibadah kurban. Mulai dari memberi nama hewan kurban sampai berlomba-lomba memilih sapi berbobot ratusan kilogram. Hal itu justru tidak diajarakan fiqih. Jika tidak hati-hati, kit bisa terjebak dalam riya atau sombong.

Hewan kurban memang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dianggap aset utama bagi masyarakat tradisionalis-agraris. Berbeda dengan era modern. Hari ini satu ekor kambing kurban dihargai tidak lebih mahal dari sebuah gawai pintar.

Hakikat Filosofis Ibadah Kurban di Era Modern

Maka, pemaknaan kurban pun harus bergeser bukan hanya semata bertumpu pada aspek fisik-simbolik. Melainkan lebih mengarah pada aspek filosofis. Yakni bagaiamana kurban dimaknai sebagai ajang penyucian diri dari segala sindrom binatangisme. Yakni kecenderungan untuk haus kekuasaan dan melakukan segala cara untuk bisa menindas orang lain. Seperti tergambarkan dalam novel Animal Farm karya Orwell tersebut.

Dalam konteks kebangsaan yang diwarnai intoleransi dan polarisasi, hakikat kurban adalah memberangus segala penyakit sosial di ranah sosial, politik, dan agama. Di ranah sosial, kita perlu menyembelih sifat individualistik, egoistik, dan pragmatistik. Terlalu lama bangsa ini melupakan hakikatnya sebagai masyarakat yang gemar gotong-royong. Kehendak untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi acapkali membuat kita menjadi serigala bagi manusia lainnya. Idul Adha adalah momentum yang tepat untuk mengembalikan karakter bangsa Indonesia yang cinta gotong-royong dan memiliki spirit solidaritas yang tinggi.

Di ranah politik, kita perlu memberangus syahwat kekuasaan yang acapkali membuat kita rela menghalalkan segala cara demi meraihnya. Politik kita hari ini kadung didominasi nalar kebencian dan permusuhan karena kita lupa bahwa tujuan berpolitik adalah memperjuangkan kemanusiaan. Idul Adha kiranya bisa menjadi pelajaran untuk lebih menempatkan kepentingan bangsa di atas kehendak pribadi atau golongan.

Terakhir, di ranah agama kita perlu menganulir nalar konservatisme, radikalisme, dan ektremisme yang menjadi akar terorisme. Kita harus mengembangkan cara pandang dan praktik keagamaan yang inklusif dan toleran. Dengan begitu, fenomena kekerasan dan teror atas nama agama kiranya bisa dicegah.

Facebook Comments