Peristiwa hijrah Rasulullah ke Yatrib tentu tidak bisa dilepaskan dengan pembahasan soal Piagam Madinah. Jika Rasulullah tidak diperintahkan berhijrah, besar kemungkinan Piagam Madinah (Shahifah al Madinah) tidak akan pernah lahir. Tanpa lahirnya Piagam Madinah, sulit membayangkan bagaimana peradaban Islam bisa berkembang sampai sebesar sekarang ini.
Sepenting apakah kedudukan Piagam Madinah dalam perjalanan sejarah umat Islam semasa dan pasca Rasulullah? Jika ditelisik dari segi muatan atau isi, Piagam Madinah yang berisi 47 pasal itu 23 diantaranya mengatur soal hubungan antarsesama umat Islam, terutama hubungan antara Anshar dan Muhajirin.
Sedangkan 24 pasal sisanya membahas urusan antara umat Islam dan kelompok non-muslim (Yahudi). Secara garis besar Piagam Madinah berisi aturan agar masing-masing kelompok saling menghargai dan melindungi satu sama lain.
Hal ini sejalan dengan prinsip Ummatan Wahidah yang termaktub dalam sejumlah ayat di Al Qur’an. Konsep Ummatan Wahidah secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah konsep yang meyakini bahwa manusia pada dasarnya merupakan saru kesatuan dari komunitas besar yang sifatnya universal. Bahwa di dalamnya ada perbedaan ciri fisik, pemikiran, maupun merupakan itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa dijadikan alasan untuk terpecah belah.
Perbedaan Manusia Sebagai Sunnatullah
Perbedaan ciri fisik manusia dalam kerangka teologis bisa dimaknai dari asal-usul penciptaan Nabi Adam sebagai leluhur semua umat manusia. Dalam riwayat dikisahkan bahwa Nabi Adam diciptakan dari berbagai macam unsur tanah yang berbeda yang ada di muka bumi. Jadi, kalau anak turun Adam lantas memiliki ciri fisik yang berbeda, hal itu tentu wajar belaka.
Begitu juga ihwal perbedaan profesi, pemikiran dan sejenisnya hal itu terjadi karena adanya perbedaan kepentingan di antara sesama manusia itu sendiri. Sedangkan dalam konteks keagamaan, perbedaan agama terjadi karena Allah mengutus Nabi dan Rasul yang berbeda pada tiap-tiap masa.
Setiap Nabi dan Rasul itu pada dasarnya membawa risalah yang sama, yakni Tauhid. Hanya saja, konsep beragama secara formalnya saja yang berbeda. Sejak Nabi Musa, Isa hingga Mohammad, risalah kenabian disatukan oleh benang merah yang sama; yakni konsep tauhid alias keesaan Allah.
Ironisnya, perbedaan fisik dan agama itu justru kerap dieksploitasi dan dijadikan alat pembenaran untuk terpecah-belah. Ada kelompok yang karena ciri fisiknya merasa lebih baik dan superior ketimbang kelompok lain. Ada pula kelompok suku yang merasa lebih pantas berkuasa ketimbang suku lain.
Konsep Ummatan Wahidah itu lantas dielaborasi kembali secara konkret dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah secara eksplisit mengakui konsep kemanusiaan universal. Yakni bahwa manusia pada dasarnya memiliki hak dasar (asasi) yang sama meski memiliki identitas yang berbeda.
Pasal-pasal dalam Piagam Madinah yang mengatur relasi antara kaum Muhajirin dan Anshar menggambarkan ajaran tentang ukhuwah Islamiyyah. Yakni kerukunan sesama umat muslim. Dalam konteks kekinian, ukhuwah Islamiyyah ini perlu diperkuat terutama di tengah gelombang perpecahan umat Islam yang dilatari isu perbedaan mazhab, organisasi keagamaan, bahkan afiliasi politik.
Membumikan Konsep Ummatan Wahidah dalam Konteks Kekinian
Umat Islam hari ini perlu mencontoh sinergi antara kaum Muhajirin dan Anshar yang mampu berkolaborasi membangun perdamaian dan kesatuan meski berasal dari latar belakang yang berbeda.
Sedangkan pasal-pasal yang mengatur hubungan antara umat Islam dan kaum Yahudi merupakan representasi dari ajaran Islam tentang ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insyaniyyah (persaudaraan kemanusiaan.
Persaudaraan kebangsaan bermakna bahwa manusia yang berbeda secara fisik, keagamaan, bahasa, dan budaya namun memiliki komitmem hidup bersama sebagai sebuah bangsa pada dasarnya adalah saudara.
Komitmen kebangsaan ini tidak dibangun di atas kesamaan identitas, melainkan kesamaan latar belakang dan imaninasi tentang masa depan. Dalam konteks Indonesia, imajinasi kebangsaan itu terbentuk dari kesamaan masa lalu sebagai bangsa terjajah dan cita-cita kemerdekaan dan membangun peradaban yang bebas dan setara.
Terakhir, persaudaraan kemanusiaan adalah keyakinan bahwa seluruh umat manusia di muka bumi ini terikat oleh ikatan persaudaraan yang universal. Konsep persaudaraan kemanusiaan ini melintasi batas wilayah geografis, identitas sosiologi dan dekat ideologis.
Piagam Madinah yang berisi 47 pasal dan dideklarasikan pada 622 M itu secara implisit telah mengadakan pirnsip Ummatan Wahidah. Yakni kesatuan umat manusia secara universal. Piagam Madinah dengan demikian berusaha membongkar atau mendekonstruksi konsep diskriminasi manusia berdasar identitas fisik maupun agama.
Peringatan Hari Tahun Baru Islam (Hijriah) idealnya menjadi momentum untuk membumikan kembali konsep Ummatan Wahidah yang terkandung dalam Piagam Madinah. Di tengah gelombang bangkitnya sentimen konservatisme agama dan fanatisme politik kita perlu kembali menanamkan kesadaran bahwa semua manusia pada dasarnya bersaudara. Kesadaran itulah yang akan menghindarkan kita dari tubir perpecahan dan konflik antar-sesama.