Sudah lama saya selalu abaikan broadcast soal agama yang mampir ke ponsel saya. Alasannya sederhana, isinya ngebetein, ngeguruin, nyalahin, agak gak valid, ngerasa paling benar, dan tentu saja ngotorin inbox. Pengecualian dari itu, tentu saja ada broadcast yang isinya baik dan ilmiah meski jumlahnya sangat minim.
Kadang teringat waktu SD dulu, waktu baru masuk sekolah anak di sekolah saya semuanya ribut tak terkecuali. Alasannya satu, karena kita lagi senang-senangnya masuk di dunia baru, dan karena baru keluar dari fase balita tentu saja rasanya bahagia. Mohon maaf, secara psiko sosial saya merasa broadcast agama hari ini 11-12 dengan fase SD dulu.
Sekali lagi maaf tanpa pretensi meremehkan, orang yang saya kenal rajin broadcast agama itu biasanya ‘orang baru’ di jagat diskusi agama. Kadang ngaji-nya pun jauh dibanding anak saya yang baru lulus TK. Tapi harus diacungi Jempol, mereka ini semangatnya luar biasa dan terkadang sangat heroik. Sayangnya ya itu, ‘semangat 45’ tidak berbanding lurus dengan peningkatan kapasitas otak.
Itulah yang saya maksud psiko-sosial SD! Kejadian persis anak SD yang selalu semangat waktu dapat ilmu baru. Saya dulu dan juga anak saya yang masih SD sekarang, selalu pengen orang lain tau apa yang saya tau dan ikut apa yang saya ikut. Tidak salah juga, karena memang anak seumuran itu belum dikaruniai Tuhan perangkat analisa di otaknya, namanya juga anak-anak.
Sementara kakak-kakak mereka di SMP dan SMA mulai lebih wise dan santai saat dapat info baru. Mereka coba analisa dulu di kepala mereka, ajak diskusi kawan, minta pendapat orang lain, lalu buat kesimpulan. Nah, menjadi wise, selon, atau gak kagetan itu disebabkan pada peningkatan ilmu di kepalanya. Ilmu itu memang bisa bikin lebih tenang dan bijak, gak bisa dipungkiri.
Kembali ke soal broadcast agama yang dilakukan oleh orang-orang dewasa itu, justru lebih mengherankan lagi. Kok bisa-bisanya orang yang sudah dewasa itu melakukan gaya anak kecil? Baru dapat info terkini langsung share, apa dia kira cuma dia yang tau?
Baru ketemu satu hadits atau dua hadits atau tiga hadits langsung salahin sana salahin sini, misalnya langsung broadcast begini, “menurut ane sesuai sunnah Nabi malam Jumat itu bukan Yasinan tapi baca Al Kahfi, ini haditsnya Shahih, yasinan itu salah gak ada dalilnya.” Atau, “Ternyata syariat Islam itu membolehkan bla bla bla, lho…”. Lha kok harus pake kata ‘ternyata’, maksudnya ente baru tau gitu, kemana aja selama ini, bro?! Gubrak!!!
Contoh lain broadcast ekstrim misalnya, “Rasulullah pernah meramalkan adanya ‘Pasukan Panji Hitam’, merekalah yang akan melawan musuh-musuh Allah di bumi Syam (Suriah), merekalah pasukan yang dijanjikan membebaskan kaum muslim dari ketidakadilan orang kafir.”
Si penyebar broadcast rupanya gak sadar bahwa yang ia kirim itu sebenarnya propaganda teroris ISIS. Propaganda itu halus karena pakai ayat dan hadits dan dibaca oleh orang yang tidak kritis dan tidak tahu peta kontemporer terorisme ataupun ajaran agama itu sendiri.
Bayangkan kalau broadcast agama macam itu tersebar di orang yang –maaf- sedikit dangkal pemahaman agamanya. Boleh jadi ada yang terpengaruh lalu ikut gabung ke ‘Pasukan Panji Hitam’ pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi (ISIS). Apalagi di awal broadcast biasanya dipasang tulisan, “Pesan dari Syeikh Abu Anu Abu Ini untuk kaum muslimin dunia…..”. Kata Syeikh atau Abu-abuan itu pasti punya dampak psikologis buat pembaca.
Pernah saya memperingatkan teman untuk tidak asal broadcast, tapi dia malah berdalih kalau dia ingin menyebarkan ilmu. Saya bilang juga, menyebarkan ilmu juga harus pakai ilmu dan tahu ilmu, bukan seenak udele dewek!
Penikmat broadcast dan gadget harusnya jadi pengguna cerdas, bisa melakukan filterisasi terhadap informasi yang masuk –terutama soal agama-, tidak terburu-buru buat kesimpulan, menghakimi orang lain, apalagi langsung men-share.
Kan para guru ngaji di Langgar dulu sering mengingatkan bahwa tangan kita di akhirat nanti akan bercerita apa yang pernah dikerjakan dan disaksikan oleh kaki, saat itu mulut terkunci gak bisa berbohong. “Fal yauma nakhtimu ‘alaa ‘afwaahihim wa nukallimunaa aydiyhim wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanuu yaksibun”, begitu bahasa Alquran-nya.
Bayangkanlah, tangan kita bicara “dulu saya broadcast ‘Panji Hitam’ terus ada anak muda yang jadi teroris”. Kalau sampai tangan bilang begitu di hadapan Tuhan, habis lah kita!!!