Indonesia sebagai negara besar adalah fakta yang tidak terbantahkan. Negeri ini dikenal kaya akan sumber daya alamnya. Belum lagi besarnya jumlah penduduk yang secara ekonomi merupakan pangsa pasar yang menggiurkan. Indonesia juga dikenal memiliki wilayah perairan laut yang kaya dan juga strategis.
Dalam sebuah pidatonya, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa di forum-forum dunia seperti G20 bahkan G7, Indonesia adalah negara besar, alias bukan kaleng-kaleng. Untuk meneguhkan kebesaran itu, saban kali sesi foto bersama pemimpin dunia, Presiden Jokowi selalu berada di posisi tengah, alih-alih di posisi pinggir.
Namun demikian, di balik kekayaan alam yang melimpah, besarnya jumlah penduduk, dan letaknya yang strategis, tersimpan ancaman serius yang mengintai bangsa Indonesia. Ancaman itu bisa diidentifikasi ke dalam dua jenis, yakni ancaman internal dan eksternal.
Waspada Ancaman Eksternal dan Internal
Ancaman yang bersifat internal itu antara lain, pertama adanya potensi gesekan sosial akibat perbedaan suku, agama, dan budaya yang ada di Indonesia. Sejak awal berdiri, bangsa Indonesia memang dikenal sebagai negara multireliji, multikultur, dan multietnis.
Di satu sisi, hal itu adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya. Namun, di sisi lain, harus diakui bahwa keragaman agama, suku, etnis, dan budaya itu juga bisa berpotensi memicu perpecahan, bahkan konflik horisontal.
Kedua, bangkitnya sentimen primordialisme alias fanatisme kesukuan yang kerap kali menjurus pada gerakan separatisme berbasis kedaerahan. Pasca Reformasi kita menyaksikan bagaimana gerakan separatis yang mengusung agenda memisahkan diri dari NKRI mulai bangkit kembali. Ironisnya, beberapa gerakan separatis tersebut justru mendapat simpati bahkan dukungan dari luar negeri.
Ketiga, maraknya hoaks, ujaran kebencian dan provokasi akibat panasnya kontestasi politik. Dalam satu dekade belakangan, panggung politik kita diwarnai oleh beragam narasi provokatif yang bertendensi memecah-belah bangsa. Di saat yang sama, kita juga menyaksikan bagaimana sentimen identitas dan simbol keagamaan dikomodifikasi untuk tujuan politik praktis.
Selain berasal dari internal, ancaman kebangsaan itu juga berasal dari kekuatan eksternal. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak negara yang ingin mengganggu Indonesia. Banyak negara asing ingin Indonesia ada dalam kondisi tidak stabil, bahkan ada dalam chaos. Ketika terjadi chaos itulah, mereka (negara asing) akan menancapkan dominasinya di negeri ini. Itulah gaya kolonialisme modern.
Kepentingan asing untuk mengganggu stabilitas nasional ini mewujud dalam banyak hal. Antara lain, masuknya agenda asing melalui beragam organisasi sosial atau keagamaan lokal. Tidak jarang, mereka juga membonceng media massa mainstream untuk menebar isu-isu yang meresahkan publik.
Menguatkan Soliditas Kebangsaan
Di tengah maraknya provokasi yang memecah-belah bangsa dengan beragam narasi dan strategi ini, penting kiranya kita membangun soliditas kebangsaan. Soliditas kebangsaan diartikan sebagai sebuah sikap kompak dari seluruh elemen bangsa. Soliditas kebangsaan ini penting untuk membendung segala ancaman yang datang dari sisi internal maupun eksternal.
Soliditas kebangsaan ini dapat diimplementasikan ke dalam sejumlah langkah. Langkah pertama adalah memperkokoh toleransi antar-suku, agama, etnis, dan budaya yang berbeda. Fitrah bangsa Indonesia pada dasarnya adalah toleran.
Hal ini terbukti sejak zaman Nusantara berbentuk kerajaan. Di era kejayaan Majapahit atau Sriwijaya, kehidupan sosial yang inklusif dan toleran telah mengakar kuat di tengah masyarakat. Artinya, toleransi dan inklusivisme telah menjadi semacam cultural DNA bagi bangsa Indonesia.
Hanya saja, belakangan ini kultur toleran itu memudar lantaran derasnya provokasi dan hasutan kebencian baik yang bersumber dari internal maupun yang sengaja didesain oleh pihak eksternal.
Langkah kedua, kita perlu mereformasi pola komunikasi kita sebagai sesama anak bangsa. Sepertinya sudah terlalu lama kita sebagai anak bangsa terjebak dalam pola komunikasi beracun (topic communication), terutama yang mengemuka di media sosial. Praktik komunikasi yang toxic ini tampak pada maraknya ujaran kebencian, cemoohan, dan diksi negatif yang berhamburan dan mewarnai komunikasi kita selama ini.
Kita perlu membangun pola komunikasi yang lebih beradab, steril dari nuansa toxic, apalagi kebencian dan permusuhan.
Langkah ketiga, kita perlu menolak segala provokasi asing dalam bentuk apa pun. Untuk itu, kita perlu membangun kesadaran untuk mengidentifikasi pola dan modus kepentingan asing di Indonesia.
Seperti kita tahu, pola infiltrasi asing ke Indonesia bisa terjadi melalui beragam cara. Bisa melalui operasi intelejen, propaganda melalui sejumlah LSM, atau bahkan menyebar hasil riset atawa penelitian yang rawan disalahpahami dan menimbulkan polemik.
Arkian, sebagai bangsa yang besar, kira tidak boleh lengah. Ancaman internal dan eksternal selalu mencintai bangsa Indonesia. Adalah tanggung jawab bersama untuk memperkokoh soliditas kebangsaan demi mengalir segala ancaman baik dari dalam maupun luar.