Perbincangan tentang Nabi Muhammad tidak bisa lepas dari transformasi sosio-antropologis masyarakat Arab dan umat manusia. Ketika Nabi Muhammad lahir, masyarakat Arab kala itu sebenarnya sudah maju dalam banyak hal. Sejarawan Montgomery Watt misalnya menyebut bahwa di bidang teknologi pertanian, masyarakat Arab cenderung lebih maju ketimbang masyarakat lainnya.
Namun, dalam hal sosial-kebudayaan dan spiritual masyarakat Arab bisa dikatakan masih tertinggal. Dari sisi sosial-budaya, masyarakat Arab pra-Islam dikenal sebagai kelompok yang fanatik pada identitas kesukuan. Fanatisme berlatar sentimen primordial inilah yang lantas memicu perang suku dan perang saudara.
Belum lagi budaya patrirkisme yang menjurus pada misoginisme (membenci perempuan). Di sebagian suku Arab pra-Islam, pandangan misoginis itu bahkan sampai pada titik paling ekstrem, yakni mengubur bayi perempuan yang baru lahir hidup-hidup.
Dalam hal spiritualitas, Masyarakat Arab adalah panganut paganisme yang menyembah banyak dewa. Tradisi paganisme ini kental mendominasi corak spiritualitas masyarakat Arab sebelum Islam datang. Kondisi sosial, budaya, dan spiritual yang demikian inilah yang kerap diistilahkan sebagai “jahiliyyah”.
Kemuculan Nabi Muhammad sebagai pemimpin spiritual sekaligus sosial merupakan titik balik perjalanan peradaban masyarakat di Jazirah Arab. Dalam bukunya The History of the Arabs, Philip K. Hitti menyebut bahwa Nabi Muhammad adalah sosok reformer alias pembaharu yang berhasil mentransformasikan masyarakat Arab baik dari sisi politik, sosial, budaya, maupun spiritual.
Rasulullah dan Transformasi Masyarakat Arab
Nabi Muhammad dengan risalah keislamannya secara perlahan menghapus primordialisme, patriarkisme-misoginisme, dan paganisme. Hitti menyebut bahwa Nabi Muhammad tidak sekadar membawa ajaran tauhid. Namun, Nabi Muhammad juga membawa nilai-nilai baru ihwal membangun masyarakat yang beradab. Inilah yang membedakan Muhammad dengan rasul-rasul terdahulu.
Nabi Muhammad mengenalkan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang melampaui kecenderungan zaman kala itu. Antara lain prinsip hak asasi manusia, toleransi beragama, kesetaraan gender, demokrasi, dan sebagainya.
Nabi Muhammad menjadi prototipe ideal seorang muslim. Yakni bahwa menjadi muslim yang kaffah bukanlah sekadar membangun kesalehan individual dengan rajin beribadah. Muslim kaffah adalah perpaduan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial yang mewujud dalam perilaku beragama yang moderat.
Maka, di era modern saat ini, meneladani moderasi beragama ala Rasulullah jauh lebih urgen ketimbang mengadaptasi sunnah Nabi yang bersifat simbolik. Seperti memanjangkan jenggot, bersiwak, memakai celak, dan sejenisnya. Di tengah situasi kebangsaan yang dipenuhi oleh ancaman permusuhan dan perpecahan ini, meneladani spirit moderasi beragama ala Rasullah menjadi urgen bagi setiap muslim.
Prinsip moderasi beragama ala Rasulullah yang patut diteladani dalam konteks keindonesiaan hari ini adalah sikap anti-primordialisme. Rasulullah membenci fanatisme kesukuan apalagi yang menjurus pada kekerasan. Sikap anti-primordialisme ala Rasulullah ini idealnya juga diadaptasi oleh umat Islam Indonesia hari ini.
Harmoni di Tengah Kebinekaan
Pasca Reformasi1 1998, sentimen kesukuan mulai bangkit kembali di negeri ini. Aroma disintegrasi bangsa menyeruak dengan bangkitnya gerakan separatis. Meski berhasil diredam, namun ancaman separatisme belum sepenuhnya musnah. Jalan meredam separatisme itu adalah memberangus sindrom fanatisme primordial yang menjadi akarnya.
Selain itu, moderasi beragama ala Rasulullah juga mewujud pada komitmennya untuk melindungi warga non-muslim dan kelompok minoritas. Di zaman Rasulullah, relasi antar-agama tidak hanya bertumpu pada konsep toleransi dalam artian mengakui entitas agama lain.
Lebih dari itu, ia membangun sistem politik dan sosial yang menjamin hak non-muslim dan kelompok minoritas lain. Komitmen melindungi kelompok non-muslim dan kaum minoritas inilah yang harus diimplementasikan oleh umat Islam Indonesia hari ini.
Apalagi situasi keberagamaan kita hari ini tengah diwarnai oleh intoleransi, persekusi, dan diskriminasi. Hal itu kian diperparah oleh naiknya gelombang politisasi agama dan politik identitas yang menjadikan sentimen kesukuan, etnisitas, dan keagamaan sebagai senjata meraih kekuasaan. Membangun relasi beragama yang egaliter sebagaimana dipraktikkan Rasulullah adalah kunci mewujudkan Indonesia harmoni di tengah kebinekaan.
Terakhir, sikap moderat Rasulullah juga ditunjukkan melalui sikapnya yang adaptif pada kearifan lokal. Meski datang dengan nilai dan prinsip baru, Rasulullah tidak serta-merta mengeliminasi budaya lokal Arab yang sudah eksis sebelumnya. Dalam sebuah hadist Rasulullah menyatakan bahwa ia selalu bangga dengan identitas keraban (Quraisy) dan tidak akan pernah melepaskan identitas tersebut.
Sikap adaptif pada identitas dan kearifan lokal ini penting diteladani oleh umat Islam Indonesia yang sebagian tengah mengalami semacam krisis identitas hari ini. Sebagian umat Islam Indonesia hari ini merasa atau bahkan meyakini bahwa menjadi Islam kaffah hanya bisa dilakukan dengan melepas identitas keindoneisaan.
Cara pandang yang demikian ini jelas salah kaprah. Rasulullah saja tidak menempatkan Islam dan budaya lokal Arab dengan cara pandang konfrontatif, melainkan mutualistik. Agama bisa menyumbang andil pada kearifan lokal, sebagaimana juga kearifan lokal bisa memperkaya ekspresi keagamaan.