Maulid Nabi, Romantisme Islam dan Teladan Kemanusiaan

Maulid Nabi, Romantisme Islam dan Teladan Kemanusiaan

- in Narasi
468
0
Maulid Nabi, Romantisme Islam dan Teladan Kemanusiaan

Dalam Islam bulan Rabiul Awal dirayakan sebagai bulan keberkahan. Di bulan ini manusia yang diyakini sebagai pembawa wahyu agama terakhir dan pelengkap agama-agama sebelumnya dilahirkan. Nabi Muhammad pembawah risalah dengan membawa misi Rahmatal Lil Alamin. Sebuah ajaran yang sejatinya memiliki tujuan memberikan rahmat bagi seluruh makhluk hidup dan semesta.

Dalam merayakan hari kelahiran Rasulullah Saw umat muslim mengumandangkan shalawat-shalawat yang dalam sejarah terlembagakan dalam bentuk peringatan maulidan. Di sini terlihat jelas bagaimana romantisme Islam dipraktikkan. Seluruh umat muslim diajak untuk bersama-sama berkumpul dan memanjatkan shalawat dan doa-doa kebaikan, dengan tujuan mendapatkan keberkahan sekaligus meneladani perilaku dan akhlak Nabi melalui pembacaan kembali sirah nabawiyah.

Keteladanan merupakan bentuk cinta umat Islam kepada Rasulnya. Rasulullah menjadi teladan dalam membingkai kedamaian dan kerukunan dalam kebhinekaan. Hal ini sesuai fakta yang pernah dipraktikkan oleh Rasulullah ketika di Madinah. Ketika berada Madinah Nabi berhasil mempersatukan Islam pendatang dan Islam pribumi dan umat Islam dengan umat Yahudi.

Secara mencatat, lahirnya komunitas Madinah merupakan pondasi peradaban Islam yang dapat menguatkan ikatan Anshor (pribumi) dan Muahjirin (Pendatang), serta dapat menjamin kebebasan masyarakat lintas agama dan suku. Dengan kata lain beliau berhasil memadukan keanekaragaman suku dan perbedaan agama untuk hidup berdampingan dalam harmoni.

Melalui maulid umat Islam melakukan romantisme terhadap ajaran, keteladanan dan kecintaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Perayaan maulid dengan demikian menjadi sarana edukasi umat Islam untuk menjadi pribadi yang toleran di tengah perbedaan. Manusia yang memiliki prinsip makna bagaimana menjalani hidup untuk menghormati dan mencintai sesama manusia dan memiliki sikap yang peduli dan selalu menjunjung tinggi martabat sesama manusia, atau sering disebut sebagai sikap memanusiakan-manusia.

Teladan inilah yang seharusnya menjadi bahan ajar bagi seluruh manusia. Bahwa kerukunan hidup dan berdampingan jauh lebih penting dibandingkan dengan apapun dalam membangun peradaban manusia. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Bertrand Russel seorang filsuf agnostik Inggris yang menuliskan dalam bukunya the Role of Man’s Will to Power in the World’s Economic and Political Affairs bahwa keberhasilan dan kemudahan penaklukan Islam yang mula-mula dan stabilitas imperium yang mengikutinya ialah karena sikap toleransi umat Islam terhadap rakyat yang ditaklukkannya. Sederhananya Russel ingin mengatakan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam di masa Rasulullah hampir tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa orang Islam memaksa pihak lain untuk menjadi muslim.

Hal ini juga terkandung dalam surah Al-Baqarah ayat 256 yang mengatakan, Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat, yang tidak akan putus. Allah maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Ayat ini menjadi penguat bagaimana teladan yang diajarkan Nabi Muhammad Saw merupakan jalan menuju Islam yang Rahmatal Lil Alamin. Agama yang tidak melindungi dan memberikan rasa tenang terhadap umat Islam, tetapi juga kepada semesta alam tanpa kecuali. Agama yang berhasil memperbaiki fitrah kemanusiaan melalui pribadi yang berakhlak dalam memanusiakan manusia. Islam berhasil menjadi manusia yang benar-benar manusia dan memanusiakan manusia.

Seperti inilah sejatinya peran agama dalam kehidupan manusia, yaitu mampu memberikan cahaya kebaikan serta bermanfaat untuk orang lain. Prinsip kemanusiaan yang ditanamkan oleh Rasulullah adalah sebaik-baiknya manusia ialah manusia yang bisa memberikan manfaat bagi manusia lainnya. Bukanlah manusia sejatinya yang justru memberikan mudharat dan bahaya terhadap yang lain.

Untuk itu, maulid Nabi merupakan momentum romantisme Islam dalam meneladani misi kemanusiaan Rasulullah Saw. Romantisme maulid adalah gerakan untuk memunculkan kembali semangat kemanusiaan yang diajarkan Rasulullan dalam praktek dan konteks hari ini.

Facebook Comments