95 Tahun Sumpah Pemuda; Urgensi Jejaring Pemuda Zaman Now Melawan Hoaks dan Radikalisme

95 Tahun Sumpah Pemuda; Urgensi Jejaring Pemuda Zaman Now Melawan Hoaks dan Radikalisme

- in Narasi
531
0
95 Tahun Sumpah Pemuda; Urgensi Jejaring Pemuda Zaman Now Melawan Hoaks dan Radikalisme

Dalam sejarah Indonesia, kaum muda selalu menjadi aktor utama dalam momen krusial. Sejak era 1908, (Boedi Oetomo), Sumpah Pemuda 1928, revolusi 1945, hingga Reformasi 1998 kaum muda selalu tampil sebagai penggerak perubahan.

Kaum muda memang identik dengan sikap kritis yang berpadu dengan nalar progresif. Di satu sisi, mereka selalu kritis terhadap realitas sosial-politik yang kerapkali menyisakan residu persoalan. Di sisi lain, sikap kritis itu juga melahirkan pemikiran yang berorientasi pada penyelesaian masalah.

Maka, tidak mengherankan jika Bung Karno pernah berujar, “beri aku 10 pemuda, dan akan kugoncangkan dunia”. Peran krusial pemuda dalam setiap momen krusial perjalanan bangsa ini kiranya juga dibutuhkan di era sekarang.

Era ketika dunia digital dengan segala kelebihan dan kekurannya telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat kita. Harus diakui bahwa teknologi digital telah menyisakan beragam residu persoalan.

Bahaya Hoaks dan Radikalisme

Antara lain maraknya berita palsu dan radikalisme yang disebar di kanal dunia maya. Hoaks dan radikalisme memang tidak membunuh masyarakat secara langsung, layaknya serangan militer atau virus penyakit. Namun, hoaks dan radikalisme itu membunuh akal sehat dan menguasai alam bawah sadar masyarakat dengan asumsi serta persepsi negatif.

Individu yang terpapar hoaks dan radikalisme mudah diprovokasi untuk bersikap intoleran. Tidak hanya itu, seseorang yang terpapar hoaksdan radikalisme juga mudah dimobilisasi untuk membangkang pada instrumen hukum dan melawan otoritas pemerintahan yang sah.

Peringatan Sumpah Pemuda ke- 95 kiranya menjadi momen untuk bertanya; apa peran kaum muda yang relevan dengan situasi kekinian, terutama di tengah maraknya hoaks dan radikalisme? Ada tiga pelajaran (lesson learn) yang bisa diambil oleh pemuda zaman now dari angkatan 1928.

Pertama, pengorganisian gerakan yang mampu menyatukan berbagai elemen kepemudaan berbasis lokalitas dan primordialitas ke dalam satu wadah besar, yakni Kongres Pemuda. Kedua, kesediaan untuk menanggalkan kepentingan golongan apalagi pribadi dan menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Ketiga, imajinasi tentang sebuah persatuan bangsa yang melampuai batas-batas primordialisme, etnisitas, warnakulit, bahasa dan identitas lainnya.

Meneladani Spirit Pemuda Angkatan 1928

Tiga lesson learned kaum muda angkatan 1982 itulah yang idealnya diadaptasi oleh pemuda zaman now dalam melawan hoaks dan radikalisasi. Lesson learned pertama, yakni penyatuan gerakan ke dalam sebuah ekosistem besar penting diteladani anak muda zaman now dalam melawan hoaks dan radikalisme.

Hoaks dan radikalisme tidak bisa dilawan secara parsialistik alias hanya dibebankan pada satu kelompok saja. Hoaks dan radikalisme adalah musuh bersama yang harus dilawan dengan kekuatan penuh seluruh entitas bangsa. Mulai dari pemerintah (aparat penegak hukum) sampai masyarakat sipil (media massa, kaum intelektual, tokoh agama, influencer, dan lainnya).

Di level akar rumput, inisiatif melawan hoaks dan radikalisme sebenarnya sudah banya digagas oleh anak muda. Baik itu di level sekolah atau universitas. Hanya saja, harus diakui efektifitasnya masih jauh dari ideal. Salah satu faktornya adalah gerakan-gerakan itu cenderung berjalan sendiri-sendiri tanpa saling terkoneksi.

Ini artinya, hari ini kita butuh sebuah gerakan kolosal dan masif yang mengorkestrasi gerakan kaum muda melawan hoaks dan radikalisme. Dalam bahasa yang sederhana, kita perlu membangun jejaring kaum muda yang memiliki komitmen sama untuk memberantas hoaks dan radikalisme.

Lesson learned kedua, yakni kesediaan menanggalkan kepentingan gologan dan pribadi juga patut diteladani pemuda zaman now dalam melawan hoaks dan radikalisme. Ada kesan bahwa kaum muda hari ini cenderung narsistik dan berpikir oportunistik. Apa yang mereka lakukan selalu kental dengan motif pribadi dan kelompok.

Hasrat menjadi populer dan dianggap berjasa dari segelintir orang itu tidak pelak justru membuat gerakan pemuda zaman now mudah digembosi dari dalam. Seperti kita lihat, banyak kaum muda hari ini yang kehilangan idealismenya. Bahkan, mereka rela menukar idealismenya dengan uang, jabatan, atau keterkenalan yang sifatnya sesaat.

Idealnya, komitmen melawan hoaks dan radikalisme itu tidak bercampur dengan motif pribadi. Seperti ingin mendapatkan keterkenalan atau jabatan politik tertentu. Melawan hoaks dan radikalisme adalah jihad kebangsaan yang murni merupakan wujud rasa cinta tanah air.

Lesson learned ketiga, yakni imajinasi tentang persatuan bangsa idealnya juga diadaptasi oleh pemuda zaman now dalam melawan hoaks dan radikalisme. Bahwa melawan hoaks dan radikalisme bukanlah sekadar memberantas praktik kejahatan kemanusiaan. Lebih dari itu, melawan hoaks dan radikalisme adalah bagian dari merawat cita-cita kebangsaan.

Kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah lahir tanpa didahului oleh imajinasi tentang bangsa yang berdaulat dan lepas dari kolonialisme. Jika imajinasi kolektif tentang kemerdekaan ini rusak oleh hoaks dan radikalisme, maka fondasi bangsa ini pun akan dipertaruhkan. Maka, melawan hoaks dan radikalisme sepatutnya diletakkan dalam kerangka merawat imajinasi kesatuan bangsa.

Facebook Comments