Abu Bakar Baasyir yang notebene merupakan mantan napi teroris tiba-tiba muncul ke publik dan berniat menemui tiga calon presiden 2024. Ia bermaksud memberikan tazkiroh alias nasihat. Isinya adalah perintah bahwa siapa pun yang terpilih sebagai presiden harus menerapkan hukum Islam.
Ia menyatakan bahwa pemimpin Islam berkewajiban menerapkan hukum Islam. Meski banyak penentangan dari kelompok non-Islam, kewajiban itu harus ditunaikan karena merupakan sunnatullah. Kabar ini cukup mengejutkan mengingat di awal pembebasannya pada tahun 2021 lalu sempat tersiar kabar ia telah menerima NKRI dan Pancasila.
Namun, kini tiba-tiba ia muncul ke publik dengan membawa narasi “penerapan hukum Islam”. Lantas, apa tujuan sebenarnya? Kemunculan Baasyir jelang Pilpres 2024 dengan membawa pesan bagi capres agar ketika terpilih menerapkan hukum Islam kiranya bisa dibaca dari sejumlah sudut pandang.
Membaca Manuver Ba’asyir
Pertama, kemunculan Baasyir di tengah riuh-rendah isi Pilpres seolah mengesankan bahwa dirinya ingin mengambil momentum untuk “comeback“. Pasca keluar dari lembaga pemasyarakatan tahun 2021 lalu, Baasyir nyaris tidak pernah mencuat ke publik.
Ia seolah hilang dari radar pemberitaan. Ada kesan, ia ingin “comeback” dengan memanfaatkan momentum Pilpres 2024 ini. Bagaimana pun juga, sebelumnya ia adalah tokoh Islam konservatif yang akrif memproduksi opini dan memiliki banyak pengikut fanatik. Barangkali, kemunculannya di momen jelang Pilpres dengan narasi “penerapan hukum Islam” itu adalah upayanya untuk kembali mendapatkan panggung dan memulihkan otoritasnya sebagai tokoh Islam konservatif.
Kedua, pernyataan Baasyir tentang kewajiban presiden beragama Islam menerapkan hukum Islam menegaskan keraguan umat selama ini akan sikapnya terhadap NKRI dan Pancasila serta UUD 1945
Dengan berat hati harus kita akui bahwa tampaknya pandangan Baasyir belum berubah dari sebelumnya. Ia tetap teguh pada pandangannya ihwal negara Islam dan kewajiban menerapkan syariah secara formal. Itu artinya, keyakinan umat selama ini bahwa Baasyir sudah menerima NKRI dan Pancasila adalah persepsi yang salah.
Ketiga, kemunculan Baasyir dengan narasi penerapan hukum Islam ini juga menandai bahwa anasir anti-Pancasila itu masih eksis di bumi Indonesia. Selama ini kita cukup puas dengan turunnya angka terorisme dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Padahal, secara ideologi, radialisme dan ekstremisme itu sebenarnya masih eksis bahkan bermetamorfosis ke dalam banyak bentuk. Salah satunya adalah propaganda penerapan syariah yang gencar di media sosial. Kemunculan Baasyir di tengah panasnya isu Pilpres dengan membawa narasi “penerapan hukum Islam” ini memvalidasi fakta tersebut.
Keempat, bisa jadi kemunculan Baasyir dengan narasi “penerapan hukum Islam” ini adalah sebagai semacam kampanye atau propaganda formalisasi syariah dengan menunggangi isu Pemilu atau Pilpres 2024. Seperti kita tahu, narasi formalisasi syariah cenderung tenggelam dan tidak lagi mendapat perhatian umat Islam. Bisa jadi, Ba’asyir tengah berusaha mengangkat kembali pamor isu formalisasi syariah Islam dengan membonceng gegap-gempita Pilpres 2024.
Bagaimana Umat Seharusnya Bersikap?
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk merespons manuver Baasyir tersebut? Sebagai umat, kita tentu tidak perlu terprovokasi oleh manuver Baasyir tersebut. Mayoritas umat Islam di negeri ini adalah kalangan moderat yang meyakini bahwa NKRI yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 adalah final.
Juga bahwa NKRI adalah negara demokrasi yang berdasar bukan pada hukum agama tertentu. NKRI adalah negara relijius yang mengakomodasi hak dan kebebasan beragama tiap warganya. Bagi kalangan moderat, isu formalisasi syariah atau penerapan hukum Islam itu merupakan isu basi yang sudah seharusnya dilupakan.
Sejarah membuktikan bahwa isu formalisasi syariah cenderung tidak laku dalam pentas politik nasional. Buktinya, partai-paetai Islam yang mengusung isu formalisasi syariah dan amandemen UUD 1945 untuk mengembalikan Piagam Jakarta justru tidak pernah menjadi pemenang Pemilu. Bahkan, parpol-parpol Islam berguguran dari parlemen karena gagal mendapatkan suara di atas ambang batas minimal. Sejumlah parpol Islam yang masih bertahan di parlemen pun cenderung mengubah haluan ideologinya menjadi lebih moderat.
Ini membuktikan bahwa isu formalisasi syariah gagal menarik simpati kalangan pemilih berlatar agama Islam. Mayoritas suara umat Islam hari ini justru mengalir ke partai-partai berideologi nasionalis-moderat.
Umat Islam Indonesia mayoritas telah menyadari bahwa apa yang kita butuhkan saat ini bukanlah perubahan dasar apalagi bentuk negara. Namun, kebijakan yang berorientasi pada terwujudnya pemerataan keadilan.
Umat Islam meyakini bahwa pembangunan ekonomi yang berbasis pada pemerataan dan keadilan jauh lebih urgen ketimbang formalisasi syariah secara simbolik. Misalnya seperti aturan kewajiban memakai baju muslim, dan aturan artifisial lainnya.
Isu tentang pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, penciptaan lapangan kerja, juga penegakan hukum dan pemberantasan korupsi jauh lebih menari perhatian umat Islam hari ini ketimbang isu-isu lama yang didaur-ulang.