Keutuhan NKRI masih diganggu dengan polemik status non-muslim di Indonesia yang masih disikapi sebagai musuh. Umat Islam didoktrin agar berjarak, membangun tembok pembatas sosial. Sehingga, paham radikalisme-terorisme dengan mudahnya memanfaatkan pelabelan semacam ini untuk merusak tatanan kita.
Maka, pelabelan status kewarganegaraan terhadap non-muslim yang diskriminatif semacam ini perlu kita guguran. Tentu, ada begitu banyak bentuk teks suci Al-Qur’an yang sering delegitimasi untuk memusuhi dan bahkan memerangi. Seperti (Qs. An-Nisa’:76), (Qs. at-Taubah:29 dan 123). Yang secara orientasi menyuruh memerangi non-muslim dan memusuhi.
Mengutip pandangan Prof Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah. Bagi beliau, semua ayat tentang memusuhi non-muslim/peperangan di dalam Al-Qur’an itu tidak stagnan, tidak permanent dan tidak pula legalistic ke dalam masa kita. Sebab, itu berkaitan dengan konteks syariat hukum yang hanya relevan dalam konteks masa/kondisi/situasi/keadaan di mana peperangan itu terjadi.
Ijtihad dalam menggugurkan labelisasi non-muslim menjadi sangat penting. Secara orientasi teologis, syariat semacam itu telah dipatahkan dengan situasi dan kondisi saat ini yang hidup dalam semangat perdamaian dan keamanan. Kita telah berada dalam garis (nations state) atau negara bangsa di mana antar umat Islam dan umat Kristen ada dalam satu kesepakatan hidup damai dan saling menghargai satu-sama lain.
Orang beriman itu pasti akan memancarkan semangat untuk selalu bersaudara. Iman akan membawa rasa aman, persaudaraan dan kebersamaan. Sebab, representasi orang beriman itu adalah mereka yang senang bersaudara dan tidak bermusuhan (Qs. Al-Hujurat:10) “Sesungguhnya orang-orang (beriman) itu bersaudara”.
4 Ijtihad Menggugurkan Status Non-Muslim Musuh
Pertama, kita saat ini memiliki paradigma kebangsaan yang menyatukan umat agama-agama dalam satu negara. Sebagaimana, masa kita jauh berbeda dengan masa kekhalifahan umat Islam di masa lalu. Di mana, belum mengenal sistem negara bangsa dan terikat ke dalam gesekan antar identitas primordial yang begitu massif.
Situasi yang berbeda tentu menghasilkan pengaruh hukum yang berbeda pula. Sebagaimana, status non-muslim sebagai musuh ketika masa yang dihadapi non-muslim dan umat Islam dalam konteks peperangan. Jauh berbeda dengan situasi yang dihadapi saat ini ketika kokoh dalam semangat (kesepakatan) bersama untuk hidup damai.
Maka, orientasi yang cenderung perdamaian tentu dijelaskan begitu banyak di dalam Al-Qur’an. Utamanya dalam konteks hubungan dengan non-muslim sebagai jalan untuk bebas dari masa jahiliah di mana peperangan dan pertumpahan darah menjadi orientasi. Ijtihad memutus status non-muslim sebagai musuh ini menjadi sangat penting sekali dalam membawa sikap keagamaan yang lakum dinukum waliyadin dan menciptakan hablum minannas dalam konteks bernegara yang baik.
Kedua, segala perjanjian damai harus ditepati dan tidak boleh diingkari. Islam selalu menekankan untuk tidak boleh ingkar atas sebuah perjanjian. Peperangan di dalam Islam itu terjadi karena ada perusak perjanjian. Maka, perjanjian itu sebetulnya telah menjadi satu alasan mengapa perjanjian bersaudara dalam konteks kebangsaan dengan non-muslim perlu dibangun dengan baik dan mapan oleh umat Islam.
Berteman dan bersaudara dengan non-muslim di negeri ini tidak akan merugi secara psikologis terhadap keimanan-mu. Melainkan sebagai jalan keimanan yang benar untuk dibangun dengan baik. Paradigma non-muslim yang tidak memerangi dan membenci non-muslim disebut kafir dzimmi yang wajib dilindungi dalam Al-Qur’an.
Status kafir dzimmi ini ada dalam konteks situasi peperangan. Maka, situasi dalam kondisi yang damai, aman dan saling menghargai ini tentu kafir dzimmi tidak berlaku lagi. Dalam arti pemahaman, kita menyikapi non-muslim dalam status kewarganegaraan yang sama sebagai saudara dalam kebangsaan untuk kita jaga dengan baik.