Dunia ini memperlihatkan keberagaman sebagai ciri natural yang melekat dalam kehidpan manusia dari berbagai suku bangsa dan kelompok. Keberagaman seharusnya menjadi kekayaan yang memperkuat keseimbangan dan harmoni antar manusia di tengah kompleksitas dunia. Tidak perlu lagi mempersoalkan perbedaan karena ia menjadi sifat inheren sejak manusia dilahirkan.
Namun, paradoksnya, agama, yang sejatinya membawa ajaran perdamaian, seringkali menjadi sumber konflik. Agama kemudian muncul sebagai pembeda yang baru di tengah keragaman yang sudah kompleks. Kenapa agama yang sejatinya jalan untuk meraih keselamatan justru menjadi ruang berebut kebenaran dan saling menyalahkan?
Persoalan utamanya ternyata bukan dari agama itu sendiri. Agama memiliki nilai-nilai universal yang sangat mulia tentang toleransi, perdamaian, dan kebajikan. Terkadang nilai yang universal ini ditangkap dalam konteks yang particular dengan subyektifitas pengagumnya.
Faktor-faktor tertentu dapat menyebabkan agama menjadi alat konflik. Salah satu faktor utama adalah interpretasi ekstrem terhadap ajaran agama. Ketika kelompok-kelompok radikal mengadopsi interpretasi yang sempit dan memaksa pandangannya kepada yang lain, konflik dapat meletus.
Selain itu, faktor politik dan ekonomi turut berkontribusi. Ketidaksetaraan sosial, ketidakpuasan politik, atau ketidakadilan ekonomi dapat menciptakan ketegangan yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Mereka mungkin menggunakan narasi agama untuk memperkuat tujuan politik atau ekonomi mereka, mengarah pada konflik yang merugikan.
Memperalat agama untuk kepentingan tertentu terutama politik adalah salah satu dasar yang menjerumuskan agama dalam lubang konflik. Agama menjadi ideologi kepentingan sekelompok manusia. Atas nama agama mereka berteriak seolah paling benar dan paling dekat dengan Tuhan.
Konflik kemudian muncul dan diklaim sebagai konflik berlatar agama, padahal sejatinya adalah konflik nafsu manusia dalam memperalat agama. Agama menjadi kambing hitam dari kebuasan manusia yang hampir melebihi binatang yang tidak beragama.
Mereduksi Konflik dengan 3 Pilar
Mengatasi konflik mengatasnamakan agama melibatkan tiga pilar utama: negara, masyarakat, dan media. Pertama, negara sebagai regulator memiliki peran krusial dalam menanggulangi konflik berbasis agama. Penguatan lembaga penegak hukum dan keamanan diperlukan untuk mengatasi potensi ekstremisme. Hukum harus tegak dan tidak boleh kalah dengan preman yang berjubah agama.
Sambil mendorong penegakan hukum, pendidikan yang inklusif dan mempromosikan pemahaman antaragama juga harus ditekankan. Selain itu, pembangunan ekonomi yang merata dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan yang bisa menjadi pemicu konflik.
Kedua, peran tokoh agama dan Masyarakat. Tokoh agama dan masyarakat juga harus berperan aktif. Dialog antaragama dan promosi toleransi perlu ditingkatkan. Program pendidikan masyarakat tentang toleransi agama dan budaya dapat membangun pemahaman yang lebih baik. Pemimpin agama dan tokoh masyarakat dapat berkolaborasi untuk menciptakan atmosfer yang mendukung keberagaman.
Ketiga, peran Media. Media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, media harus bertanggung jawab dalam menyajikan informasi tanpa memihak dan mendorong dialog. Kode etik jurnalistik yang menekankan kebenaran dan objektivitas harus dijunjung tinggi. Kampanye anti-radikalisasi dapat diperkuat melalui media untuk menyebarluaskan narasi perdamaian dan toleransi. Media harus memediasi bukan justru memprovokasi.