Mungkinkan Indonesia Menjadi Wilayah Konflik? Belajar dari Kasus Marawi, Raqqa dan Mosul

Mungkinkan Indonesia Menjadi Wilayah Konflik? Belajar dari Kasus Marawi, Raqqa dan Mosul

- in Narasi
126
0
Mungkinkan Indonesia Menjadi Wilayah Konflik? Belajar dari Kasus Marawi, Raqqa dan Mosul

Bom bunuh diri di Marawi, Filipina yang didalangi ISIS adalah alarm warning untuk Indonesia. Aksi bom bunuh diri ISIS di Malawi itu bisa ditafsirkan ke sejumlah kemungkinan. Pertama, aksi itu bisa jadi sebagai semacam pembuktian bahwa ISIS masih memiliki kekuatan dan sumber daya untuk melancarkan amaliyah (baca: teror).

Pasca tewasnya Abu Bakar Al Baghdadi, dan kejatuhan ibukota ISIS, banyak pihak menilai ISIS sudah tutup buku. Nyatanya, sel ISIS yang kadung tersebar di seluruh dunia masih melancarkan aksi teror, meski dalam skala kecil dan target yang cenderung acak.

Kedua, aksi bom bunuh diri di Malawi bisa jadi merupakan sinyal agar sel-sel lain di seluruh dunia melakukan aksi serupa. Bom Malawi bisa jadi adalah semacam seruan agar sel-sel ISIS di seluruh dunia untuk bangkit dan menebar ancaman teror.

Kemungkinan kedua inilah yang patut diwaspadai oleh Indonesia. Tersebab, seperti kita ketahui, ISIS memiliki banyak simpatisan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, nyaris semua aksi teror yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh simpatisan ISIS.

Maka, geliat ISIS di Filipina tidak boleh dipandang sepele. Telah lama Marawi dan Mindanau di Filipina menandi basis gerakan khilafah Islamiyyah di Asia Tenggara. Target awal mereka adalah mendirikan kekhalifahan Islam yang menguasai wilayah Asia Tenggara dan menjadikan Indonesia sebagai pusat kekuasaannya.

Mengapa Indonesia Dijadikan Target Kelompok Radikal?

Ada beragam faktor mengapa Indonesia ditarget sebagai pusat kekuasaan Islam (khilafah islamiyyah) di Asia Tenggara. Pertama, secara geografis Indonesia paling strategis di kawasan Asia Tenggara. Indonesia berada di tengah kawasan Asia Tenggara sehingga cocok dijadikan pusat kekuasaan.

Kedua, secara sosiologis Indonesia adalah negara terbesar di kawasan Asia Tenggara dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini dianggap sebagai modal penting membangun kekuatan Islam di Asia Tenggara.

Ketiga, secara historis Indonesia memiliki jejak sejarah yang panjang terkait negara Islam. Yang dimaksud dalam hal ini adalah keberadaan NII/DI-TII yang meski sudah ditumpas namun ideologinya masih bertahan hingga saat ini.

Lantas, mungkinkan Indoensia menjadi wilayah konflik atau pusat kekuasaan ISIS? Jika kita melihat realitas saat ini, rasa-rasanya mustahil Indonesia menjadi wilayah konflik apalagi pusat gerakan ISIS. Mengapa demikian?

Jika dilihat secara demografis, mayoritas umat Islam di Indonesia adalah kelompok moderat yang anti-radikalisme. Di Indonesia, kelompok moderat ini direpresentasikan oleh dua ormas besar, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Jadi, selama dua ormas itu masih eksis, kaum radikal mustahil bisa mengambil-alih kekuasaan.

Selain itu, kita juga memilki Pancasila, ideologi yang mempersatukan berbagai entitas suku dan agama di Indonesia. Selama Pancasila masih ada, selama itu pula konsensus tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa diutak-atik. Eksistensi Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa akan menjadi benteng ampuh menangkal virus ekstremisme berkedok khilafah islamiyyah.

Terakhir, karakteristik masyarakat Indonesia adalah cintadamai dan anti-kekerasan. Inilah bedanya masyarakat Indonesia dengan masyarakat Timur Tengah yang memang memiliki tradisi panjang terkait peperangan. Karakter masyarakat yang cintadamai dan anti-kekerasan ini membuat ideologi perang susah berkembang di Indonesia.

Namun demikian, kita tentu tidak boleh menyepelekan ancaman kebangkitan ISIS di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Ancaman itu tetap saja ada. Terlebih belakangan ini masyarakat muslim Indonesia tengah terpecah belah oleh beragam isu sosial, politik, dan keagamaan yang kerap diamplifikasi di media sosial.

Menguatkan Nasionalisme dan Moderasi Beragama

Situasi umat Islam dalam beberapa tahun belakangan ini bisa dikatakan sangat rawan konflik. Sedikit saja provokasi diembuskan, sentimen kebencian dan permusuhan itu akan segera berkobar.

Maka, kita perlu belajar dari apa yang terjadi di Marawi, Mosul, dan Raqqa. Kota-kota itu bisa jatuh ke tangan kelompok radikal karena sikap permisif masyarakat dan pemerintahnya sendiri. Jika sejak awal, keberadaan kelompok militan itu ditolak dan dilawan, maka kota-kota itu tidak akan jatuh ke tangan kelompok ekstremis teroris.

Maka, penting bagi Indonesia saat ini untuk melawan sejak dini sekecil apa pun geliat atau manuver kelompok teroris. Kita tidak boleh memberikan ruang meski sekecil apa pun terhadap kelompok teroris.

Ormas Islam berhaluan moderat seperti NU dan Muhammadiyah harus aktif membentengi umat dan jemaahnya dari Infiltrasi kelompok radikal. Sudah bukan rahasia lagi bahwa para agen terorisme menyasar ormas keislaman besar untuk menginfiltrasi dari dalam. Kewaspadaan lembaga keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah penting sebagai bagian dari mekanisme detensi dini radikalisme di tengah umat.

Tidak kalah penting dari itu adalah menguatkan nasionalisme dan membumikan prinsip moderasi beragama. Nasionalisme dan moderasi beragama adalah dua elemen penting untuk menjaga Indonesia dari anasir yang berusaha menjadikan negeri ini wilayah konflik dan pusat gerakan ekstremisme.

Facebook Comments