Melansir data GoodStats, TikTok merupakan satu dari tujuh media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak di dunia. Tepatnya, TikTok menempati urutan ke-6 setelah Facebook, YouTube, WhatsApp, Instagram dan Wechat. Meski masih berada di urutan ke-6 namun yang patut disorot adalah pertumbuhan pengguna TikTok yang justru paling tinggi di antara media sosial lainnya.
Menurut data yang sama, jumlah pengguna TikTok di seluruh dunia mengalami pertumbuhan yang jauh lebih banyak ketimbang medsos lainnya. Tidak hanya itu, TikTok juga dianggap telah bertransformasi dari sekedar medsos yang identik dengan konten receh seperti joget-joget kea rah yang lebih serius.
Dalam banyak isu, TikTok telah menjadi kanal untuk menyuarakan opini dan keberpihakan. Terutama dari kalangan generasi Z yang merupakan pengguna mayoritas TikTok. Misalnya dalam isu konflik Israel-Palestina, TikTok telah menjadi ajang kampanye dukungan dan solidaritas terhadap Palestina. Demikian pula dalam isu-isu sosial, politik, dan kebudayaan lainnya.
Citra TikTok sebagai media sosial dengan konten receh dan tidak berisi kini mulai luntur. Semakin ke sini, tampak jelas bahwa TikTok mulai menjadi semacam battle ground alias arena pertempuran berbagai wacana dan ideologi, termasuk dalam hal keagamaan. Dalam konteks Indonesia, kita melihat sendiri bagaimana TikTok telah menjadi lanskap pertarungan tidak langsung antara ideologi keagamaan moderat di satu sisi dan konservatif di sisi lain.
Pendakwah Moderat Versus Konservatif di Tiktok
Seperti kita lihat, di TikTok saat ini banyak bermunculan sosok pendakwah baru yang memiliki perbedaan pandangan dalam hal keislaman dan keindonesiaan. Dari kalangan Nahdliyin misalnya muncul sosok Gus Iqdam yang sangat populer di dunia maya, terutama TikTok. Gus Iqdam adalah idola baru di kalangan umat Islam generasi Z terutama dari kelompok bawah dan rural (pedesaan).
Sosoknya yang masih muda, gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, dan sikap empatiknya terhadap kaum muda yang bernasib kurang beruntung adalah formula yang membuatnya menjadi popuper belakangan ini. Bisa dibilang, Gus Iqdam adalah sosok penceramah muda yang moderat. Selain jelas-jelas ke-NU-annya, ia juga berkali-kali menyampaikan pesan agar anak muda tidak mudah diadu-domba dengan konten-konten negatif di media sosial.
Selain Gus Iqdam, ada beberapa kiai NU lain yang video ceramahnya kerap viral di TikTok. Seperti Gus Baha, Gus Kautsar, Kiai Anwar Zahid dan sebagainya. Namun, kita juga melihat sejumlah penceramah berhaluan konservatif yang potongan videonya juga kerap viral di TikTok. Misalnya Felix Shiaw, Yahya Waloni, Alvian Tanjung, Andri Kurniawan, dan sebagainya.
Model dakwahnya yang anti-nasionalisme, sarat muatan intoleran dan menebar kebencian pada pemerintah potensi menyulut perpecahan di tengah umat. Dengan kata lain, TikTok saat ini telah menjadi arena pertempuran baru bagi wacana dan ideologi keagamaan (Islam). Terutama yang melibatkan kelompok moderat di satu sisi dan konservatif di sisi lain.
Lantas, bagaimana Gen-Z sebagai pengguna terbanyak TikTok harus bersikap dalam hal ini? Sedangkan kita tahu Gen-Z merupakan kelompok paling rentan terpapar ideologi radikal sebagaimana diungkap oleh sejumlah penelitian. Padahal, Gen-Z dikenal sangat antusias dalam belajar agama.
Pentingnya Gen-Z Merawat Nalar Kritis
Di satu sisi, kita tentu tidak boleh underestimate dengan wawasan keagamaan kaum Gen-Z. Tidak semua dari mereka memiliki literasi keagamaan yang rendah. Banyak milenial dan Gen-Z yang juga memiliki pemahaman keagamaan yang luas dan moderat. Umumnya mereka sedang atau pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren.
Namun, di sisi lain kita juga tidak bisa menafikan bahwa banyak Gen-Z yang masih naif dalam beragama dan belajar ilmu agama. Kelompok yang masih naif inilah yang menjadi sasaran empuk para penceramah konservatif. Mereka mudah dicekoki narasi konspiratif, ujaran kebencian, dan paham intoleran yang dikemas melalui kajian agama.
Kaum Gen-Z yang naif ini tidak bisa membedakan mana kajian keagamaan yang valid dan mana propaganda intoleransi dan radikalisme yang dibungkus ke dalam kajian keagamaan. Alhasil, mereka kerap mudah digiring opininya dan dimobilisasi sikapnya oleh pihak tertentu.
Lantas, bagaiman Gen-Z harus bersikap di tengah pertarungan ideologi keagamaan moderat dan konservatif ini? Satu hal yang penting adalah Gen-Z harus memiliki budaya kritisisme. Gen-Z tentu boleh menonton semua konten keagamaan di TikTok. Termasuk kajian keagamaan yang disampaikan para ustad berhaluan konservatif.
Namun, jangan terburu-buru untuk menganggap itu sebagai kebenaran final, dan menelannya secara mentah-mentah. Carilah referensi lain sebagai pembanding. Karakter Gen-Z umumnya berpikiran terbuka dan adaptif pada hal-hal baru. Mereka umumnya tidak mau dipaksa dengan doktrin yang kaku. Artinya Gen-Z sebenarnya memiliki kesadaran untuk mencari kebenaran dengan sikap kritis dan terbuka pada perbedaan pandangan.
Merawat sikap kritis dan terbuka pada dialog dan perbedaan pandangan itulah yang harus dilakukan oleh Gen-Z di tengah kontestasi ideologi keagamaan saat ini. Sikap itu akan menghindarakan Gen-Z pada sikap taklid buta dan percaya pada narasi keagamaan yang intoleran, konspiratif, dan anti-kebangsaan.