Para pengasong khilafah tampaknya tidak kehabisan cara untuk menjajakan ideologinya. Beragam cara pun ditempuh. Antara lain melalui teknik romantisasi kejayaan Islam di masa lalu dengan membangun narasi bahwa era keemasan itu terjadi ketika Islam dibawah kekuasaan khilafah. Atau melalui teknik glorifikasi khilafah. Yakni bahwa khilafah adalah sistem paling baik dan paling bisa mengatasi seluruh persoalan manusia.
Jika dua strategi itu masih tidak mempan mempengaruhi alam bawah sadar umat untuk ikut mendukung khilafah, maka cara pamungkas pun dipakai. Yakni dengan menebar ancaman dan ketakutan pada umat bahwa siapa yang tidak mendukung khilafah maka matinya dipastikan dalam keadaan su’ul khotimah.
Narasi ini pun didukung dengan hadist Nabi Muhammad, yakni Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat dengan tanpa mempunyai hujah. Dan, siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak terdapat baiat, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim).
Dalam leksikon ilmu sosial, teknik ini dinamakan sebagai fear mongering yakni strategi menebar propaganda ketakutan berbasis pada rumor, desas-desus, gosip, kabar burung, dan sejenisnya dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi pikiran dan perilaku orang.
Strategi fear mongering ini menjadi langganan kaum radikal dalam menyebarkan ide khilafah. Mereka selalu menakut-nakuti umat bahwa jika khilafah tidak tegak, maka dunia Islam akan selamanya dibawah cengkeraman dominasi Barat yang kafir. Atau narasi yang menyebutkan bahwa jika muslim yang seumur hidupnya tidak berjuang demi tegaknya khilafah maka akan mati dalam keadaan khusnul khotimah.
Sesat Tafsir Kaum Khilafaher
Banyak umat Islam yang akhirnya mendukung khilafah karena narasi tersebut. Apalagi ketika narasi itu ditopang oleh hadist Rasulullah. Lantas, benarkah narasi tersebut; apakah muslim yang semasa hidupnya tidak berjuang untuk tegaknya khilafah matinya pasti su’ul khotimah?
Pertama yang harus kita lakukan adalah memahami dalil tentang baiat dalam hadist Rasulullah. Menurut Nadirsyah Hossen, kaum khilafaher telah gagal menafsirkan hadist tersebut. Yang dimaksud baiat dalam hadist itu adalah kepatuhan pada pemimpin atau pemerintahan (ulil amri) yang sah dan diakui oleh umat.
Jika mengacu dalam konteks Indonesia, yang dimaksud baiat adalah tunduk pada NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 serta perundangan yang berlaku. Juga patuh pada pemimpin serta pemerintahan yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Artinya, jika muslim yang tinggal di Indonesia ini mengakui pemerintahan yang sah dan taat hukum serta perundangan, maka sejatinya ia telah berbaiat dalam hidupnya.
Kedua, kita harus mengurai apa maksud di balik pernyataan bahwa jika tidak berbaiat, maka matinya suul khotimah lantaran ada dalam kondisi jahiliyyah. Menurut Mahmud Al-Mishri Abu Ammar dalam Kitab Rihlah Ila Ad-Dar Al-Akhirah, disebutkan bahwa penyebab su’ul khotimah itu ada delapan.
Yaitu, rusaknya akidah (murtad), banyak maksiat, cinta dunia, munafik pada Allah, bergaul dengan manusia berakhlak buruk, menunda taubat, panjang angan-angan, dan beribadah menyalahi aturan. Mayoritas (jumhur) ulama sepakat dengan kriteria penyebab su’ul khotimah tersebut.
Dari kedelapan faktor itu, tidak ada satu pun klausul tentang penegakan khilafah. Lantas, darimana sebanarnya keyakinan kaum radikal bahwa muslim yang menolak memperjuangkan khilafah matinya su’ul khotimah lantaran ada dalam keadaan jahiliyyah? Ya tentu dari karangan mereka sendiri.
Selain itu, kita juga harus memahami apa itu makna jahiliyyah. Istilah jahiliyyah kerap dipakai untuk menggambarkan masyarakat Arab pra-Islam yang suka berperang, fanatik terhadap kesukuan, tidak menghargai perempuan, dan sebagainya. Jahiliyyah adalah istilah yang berkonotasi pada keterbelakangan dalam hal sosial dan budaya.
Menolak Khilafah Bukan Berarti Jahiliyyah
Jadi, istilah jahiliyyah tidak ada kaitannya dengan politik atau pemerintahan. Alquran atau Rasulullah tidak pernah memakai jahiliyyah untuk melabeli kelompok yang memiliki sistem politik berbeda.
Ketiga, kita harus menyadari bahwa setiap sistem politik atau pemerintahan pasti punya sisi kejahiliyyahannya masing-masing. Sebagai produk sejarah, sistem politik mustahil steril dari problem. Demokrasi misalnya menyisakan sejumlah residu antara lain ketimpangan sosial, korupsi, dan sebagainya.
Sistem sosialisme-komunisme yang juga telah bangkrut memiliki banyak kelemahan. Mulai dari tidak adanya kebebasan bagi masyarakat sipil sampai terlalu dominannya kekuasaan negara di depan rakyatnya. Demikian pula, khilafah pun memiliki cacat-cacat yang tidak bisa dinafikan. Seperti suksesi kekuasaan yang hanya berputar di lingkungan keluarga, maraknya penyalahgunaan wewenang karen ketiadaan lembaga kontrol, dan sebagainya.
Di atas itu semua, kita harus yakin bahwa kematian adalah rahasia Allah. Kita mati dalam kondisi khusnul atau su’ul khotimah sepertinya hanya Allah yang tahu. Manusia hanya berusaha agar mati dalam keadaan yang tengah beriman. Artinya, tidak ada manusia yang berhak menghakimi kematian saudara muslimnya dengan label su’ul khotimah. Apalagi hanya karena tidak mendukung khilafah.