Direktur Deradikalisasi BNPT: Paham Takfiri adalah Paham Kekafiran yang Tidak Disadari!

Direktur Deradikalisasi BNPT: Paham Takfiri adalah Paham Kekafiran yang Tidak Disadari!

- in Tokoh
164
0
Direktur Deradikalisasi BNPT: Paham Takfiri adalah Paham Kekafiran yang Tidak Disadari!

Kelompok takfiri menganggap bahwa label kafir “harus” dilekatkan kepada mereka yang menolak ajaran Tuhan, atau konkretnya yang berbeda paham dengan mereka. Kelompok takfiri tidak menyadari bahwa kata “kafir” yang mereka tudingkan justru merupakan kekafiran itu sendiri. Mereka tidak memahami bahwa kata “kafir” memuat konsekuensi teologis yang sangat serius.

“Paham takfiri adalah paham kekafiran yang tidak disadari.” Terang Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid.

Jenderal Bintang Satu itu menegaskan bahwa kelompok takfiri mendaku sebagai umat yang “paling taat”, “paling beriman”, “paling benar”, “paling suci”, dan “paling-paling” lainnya. Tak berhenti sampai di situ, keangkuhan ini dilontarkan sembari “menyalahkan”, “menyesatkan”, dan “mendiskreditkan” pihak yang dianggap berbeda dengan mereka.

Perilaku ini identik dengan apa yang dilakukan iblis ketika menolak bersujud kepada Nabi Adam. Sebuah perilaku yang melahirkan kredo bahwa dosa pertama yang dilakukan oleh makhluk adalah keangkuhan. Makhluk itu adalah iblis, dan ia mendapat predikat kafir akibat tindakannya itu.

Kredo ini terekam dalam Al-Qur’an bahwa sifat sombong telah ada sejak zaman Nabi Adam diciptakan. QS. Al-Baqarah: 34 menyatakan dengan sangat jelas;

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَٰفِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

Para malaikat menyadari bahwa perintah ini tidak boleh ditangguhkan karena itu adalah tanda ketaatan dan penyerahan diri kepada-Nya. Maka, mereka pun segera sujud tanpa menunda atau berpikir, apalagi perintah tersebut langsung dari Allah yang maha mengetahui dan maha bijaksana, bukan dari siapa yang bisa jadi keliru, tetapi iblis yang memasukkan dirinya dalam kelompok malaikat sehingga otomatis dicakup pula oleh perintah tersebut, enggan dan menolak sujud, bukan karena tidak ingin sujud kepada selain Allah, tetapi karena dia angkuh, yakni memandang rendah Adam sambil menganggap dirinya lebih tinggi.

Setelah iblis dinyatakan bahwa tidak termasuk kelompok mereka yang bersujud sebagaimana firman Allah dalam Surah al-A’rāf ayat 11, lalu selanjutnya Allah berfirman,

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.

Di sisi lain, iblis menolak sujud bukan dengan alasan bahwa sujud kepada Adam, adalah syirik. Keengganannya sujud muncul dari keangkuhan yang menjadikan ia menduga bahwa ia lebih baik dari Adam. Di dalam Al-Qur’an, Allah juga menyebut sikap sombong iblis dengan menggunakan kata ‘istikbar’, alih-alih takabbur. Menurut Quraish Shihab kata istakbara terambil dari kata ‘kabura’ dengan penambahan dua huruf yaitu ‘sin’ dan ‘ta’. kedua huruf ini berfungsi mengilustrasikan betapa tegas dan kukuh keangkuhan itu. Dengan demikian, kata istakbara menggambarkan keangkuhan yang luar biasa.

Quraish Shihab dalam Al-Mishbah menjelaskan bahwa keangkuhan berbeda dengan membanggakan diri. Membanggakan diri belum tentu menganggap dirinya lebih dari orang lain, bahkan boleh jadi saat itu dia masih tetap mengakui keunggulan pihak lain atau sama dengannya. Adapun keangkuhan, maka ia adalah membanggakan diri, ditambahkan dengan merendahkan pihak lain. Keangkuhan tidak terjadi kecuali jika pelakunya melihat dirinya memiliki kelebihan baik benar-benar ada maupun tidak selanjutnya melihat orang lain tidak memiliki kelebihan, atau memiliki tapi lebih rendah dari pada kelebihannya, kemudian melecehkan yang dinilainya lebih rendah itu.

Jika mengacu pada kisah di QS. Al-Baqarah: 34, iblis adalah makhluk yang sarat dengan keangkuhan, bukan hanya sekedar membanggakan diri. Iblis menyatakan keunggulan asal usulnya (api) sembari memandang rendah asal-usul makhluk lain (tanah). Maka karenanya, kata istikbar berkorelasi dengan fenomena kekufuran. Hal ini diperjelas dengan ayat-ayat yang menunjukan hubungan yang mendasar seperti syirik, kufur dengan sikap angkuh dengan konsekuensi ancaman yang sangat besar.

Imam At-Tabari dalam Tafsir Al-Tabari mengatakan bahwa walaupun ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan iblis secara khusus, namun maksud dalam ayat ini secara umum untuk setiap orang yang bersikap sombong seperti iblis. Sombong yang dimaksud adalah merasa lebih dan lebih dari pihak lain sembari merendahkan dan menyalah-nyalahkan untuk menegaskan “kebaikannya”.

Ahmad Nurwakhid menegaskan bahwa perilaku istikbar ini terwariskan kepada kelompok-kelompok takfiri yang berpaham radikal terorisme bahkan hingga di era kini. Hanya mereka tidak sadar bahwa penghakiman “kafir” kepada kelompok lain itu sesungguhnya adalah cermin atas status kekafiran mereka sendiri.

“Padahal Allah, Sang Pemilik firman sendiri yang menegaskan bahwa sikap ini adalah istikbar, dan kesombongan itu adalah sebuah kekufuran.” Pungkas Ahmad Nurwakhid.

Facebook Comments