Dengan menggebu-gebu seorang juru kampanye mengutip ayat untuk menjustifikasi kebenaran pilihan calon pemimpinnya. Tidak lupa ia pun memberikan fatwa kewajiban memilih sang calon dan haram hukumnya jika calonnya kalah. Ayat-ayat pun bertebaran seolah ini adalah bagian dari ceramah agama.
Kontestasi politik lima tahunan menjadi ajang perang yang melibatkan emosi keagamaan. Seolah ingin menjadi benar secara agama harus memilih pilihan yang diusungnya. Agama dibungkus sedemikian rupa sebagai pembenaran untuk memilih calon tertentu. Salahkah agama?
Dalam sejarah konflik yang melibatkan umat beragama, ajaran agama berdiri pada posisi sebagai obyek yang dieksploitasi untuk kepentingan politik. Agama menjadi alat untuk mensakralisasi politik. Akhirnya dimensi politik seolah menjadi pertarungan agama yang bernuansa pertarungan pasukan setan dengan Tuhan, antara iblis dan malaikat dan antara keburukan dan kebajikan.
Kekuatan agama memang sangat magis. Orang akan lebih memilih menggunakan dalil agama untuk mengajak orang lain dari pada berbusa-busa memaparkan visi dan misi politik. Dalil keagamaan seolah lebih otoritatif dan mengikat umat untuk memilih calon tertentu. Agama sekali lagi hanya korban dari nafsu politik kekuasaan.
Korban berikutnya setelah agama adalah umat beragama. Umat beragama digiring dalam satu ruang nuansa keagamaan dalam menentukan pilihan politik. Umat beragama yang beragam dipaksa masuk dalam sentiment keagamaan yang saling bertentangan. Calon ini adalah mewakili umat tertentu dan calon lain tidak representatif.
Virus Khawarij dalam Politik Pemilu
Pola seperti ini adalah cara politik gaya lama yang pernah ditampilkan oleh kelompok khawarij. Bagaimana tidak, Khawarij yang tidak sepakat dengan perjanjian politik damai dua kubu, Ali dan Muawiyah, mengangkat dalil yang menggemparkan. Memotong ayat untuk menjustifikasi kebencian politiknya.
Imbas dari politisasi agama ini adalah penghukuman lawan politik dengan narasi agama. Munculnya klaim sesat dan kafir bagi lawan politiknya. Inilah sejatinya tipologi kelompok yang menjual ayat Tuhan dengan harga murah untuk kepentingan yang batil. Sayyidina Ali pernah mengkritik cara politik Khawarij dengan istilah menggunakan kalimat haq untuk kepentingan yang batil.
Gaya politik Khawarij seperti ini cenderung merusak persaudaraan dan persatuan, apalagi dalam konteks kontestasi politik di tengah masyarakat yang beragam seperti Indonesia. Gaya Khawarij ini akan meluluhlantahkan persaudaraan kebangsaan dan makna Pemilu yang sebenarnya untuk kepentingan bangsa.
Karena itulah, tokoh agama harus bisa menahan diri untuk tidak digiring dalam peta pertarungan yang membawa agama untuk kepentingan politik. Tokoh agama bukan tidak boleh berpihak, tetapi jangan pernah terjebak dan dijebak untuk mempolitisasi ajaran agama untuk pembenaran pilihannya.
Korban yang sesungguhnya adalah umat beragama. Masyarakat tidak boleh terbelah ikatan persaudaraannya karena perbedaan politik. Pilihan politik bukan sesuatu yang sakral yang bisa merusak iman, sebagaimana gaya Khawarij yang mudah mengkafirkan perbedaan politik.
Bagaimanapun, sakralisasi pilihan politik sangat potensial merusak sendi kebangsaan dan ikatan persaudaraan sesama anak bangsa. Cukuplah berkontestasi dengan visi dan misi yang memikat umat. Kontestasi juga bukan ingin menjatuhkan lawan politik, tetapi ingin memenangkan pertarungan secara terhomat untuk membawa kemajuan bangsa.
Didiklah masyarakat dengan demokrasi yang mengedepankan pilihan rasional, bukan pendidikan politik penuh emosi. Jangan gadaikan persatuan hanya untuk kepentingan lima tahunan. Persatuan ini terlalu mahal untuk ditukar dengan nafsu recehan ingin menjadi penguasa selama lima tahun.