Politik, ketika menjadi sebentuk kompetisi, kerap dianggap bersifat “masturbasif” atau mesti “masturbasif.” Pada titik inilah, karena dengan logika mesti ada yang menang atau kalah, politik kemudian seakan-akan bertentangan dengan pluralitas atau kebhinekaan, setidaknya kebhinekaan kepentingan. Atau, ketika melongok pada subyek politik, kemudian muncullah pembedaan antara politisi dengan negarawan.
Demokrasi, sebagai sebuah sistem pemerintahan dan politik, yang dalam banyak implementasinya menyaratkan sistem pemilihan untuk meraih kekuasaan, yang di Indonesia lazim disebut sebagai pemilu, logika kompetitif yang acap “destruktif” bagi pluralitas memanglah sebuah hal yang tak gampang untuk diolah. Taruhlah pilpres 2014 dan 2019 yang mana polarisai ideologi dan pembelahan masyarakat banyak dikatakan terjadi di negara ini, baik ketika menjelangnya maupun seusainya.
Politik “masturbasif” yang potensial mengancam pluralitas itu, bahkan pun secara politik praktis, sebenarnya pernah dan sedang diolah oleh Presiden Jokowi dengan pendekatan politiknya yang dikenal sebagai pendekatan “politik merangkul” atau yang saya istilah sebagai politik Anjathasatru atau tanpa musuh.
Anjathasatru adalah sebuah nama yang disematkan pada Prabu Yudhistira dalam pewayangan Jawa. Raja Amarta itu sampai disemati gelar Anjathasatru karena sama sekali tak memiliki hasrat untuk bermusuhan atau memiliki musuh. Ketika perang Bharatayudha pun Prabu Yudhistira tercatat hanya berperang karena ditipu oleh Prabu Kresna, meskipun tipuan itu juga demi sebuah keadilan.
Pendekatan politik semacam itu memang akan terkesan berat dan sama sekali tak menggairahkan untuk dihidupi oleh politisi-politisi yang pragmatis, atau dalam konteks radikalisme keagamaan, politisi-politisi yang secara vulgar maupun samar menjadikan agamanya sebagai satu-satunya parameter, jalan atau cara, dalam sebuah kehidupan, baik kehidupan bernegara maupun bermasyarakat.
Dengan ikut melibatkan dalam kekuasaan orang-orang yang pernah dianggap sebagai lawan-lawan politik, sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan pendekatan politik Anjathasatru-nya, setidaknya pluralitas yang merupakan takdir bangsa ini dapat terolah dengan baik.
Memang, bagi sementara kalangan, pendekatan politik merangkul semacam itu dianggap menyimpang dari kelaziman implementasi sistem demokrasi, untuk tak menyebutnya tak memberikan ruang bagi adanya ekspresi-ekspresi politik yang “masturbasif.” Namun, pada tataran ideal politik dan ideal demokrasi, pendekatan politik semacam itu memang menyaratkan untuk mesti adanya sikap jiwa yang besar dalam implementasinya, yang tentu saja tak semua orang sanggup atau mampu untuk mengembannya. Dan bukankah pada titik inilah, lewat pendekatan politik Anjathasatru semacam itu, pluralitas lebih dapat disikapi secara proporsional dimana lantas perbedaan antara politisi dan negarawan menjadi nyata?