Berbeda dengan pemilu atau pilkada yang sudah berlalu, pemilu kali ini tampak aman dari ekspresi-ekspresi yang berpeluang mengoyak keragaman dan pengekangan keleluasaan. Dengan terdapatnya tiga paslon pada tahun ini, secara ideologis, orang-orang yang terbiasa dengan ideologi dan pendekatan politik yang tunggal seakan tak mendapatkan pilihan yang senafas dengan kebiasaannya.
Kemenangan telak paslon 02, Prabowo-Gibran, adalah bukti bahwa secara ideologis bangsa Indonesia sudah merasa bahwa ideologi dan pendekatan politik yang tunggal sudah usang. Isu soal demokrasi yang bermasalah atau sedang tak baik-baik saja di Indonesia, yang jelas-jelas hanya menempatkan paslon yang concern dengan isu itu di posisi terendah, adalah sebuah bukti bahwa liberalisme—yang menempatkan demokrasi di atas segala konteks lokal—secara jelas bukan lagi menjadi pilihan bangsa Indonesia.
Pada isu demokrasi yang sedang bermasalah sangat tampak bahwa demokrasi yang diangankan ternyata adalah sebentuk demokrasi liberal, yang di tahun 60-an pernah menelurkan ideologi estetis semacam humanisme universal. Orang bisa menyimak bahwa gempuran mereka terhadap demokrasi yang sedang dijalankan pemerintahan saat ini adalah di seputar isu “persatuan nasional,” “politik merangkul,” atau demokrasi yang berjalan dimana musuh ideologis dan politis diberi ruang seminimal mungkin. Padahal, demokrasi semacam ini, yang dituduh sedang tak baik-baik saja, mempunyai landasan ideologis dan konstitusional yang kuat: sila ke-3 dan ke-4 Pancasila.
Gempuran atas demokrasi yang dirasakan sedang tak baik-baik saja itu juga melibatkan pespektif etika yang hanya berlaku di satu komunitas saja: komunitas yang jamak berkiblat pada kaum liberal-Barat. Taruhlah terpilihnya Gibran sebagai cawapres dan bahkan wapres dari Prabowo. Pilihan ini jelas-jelas tak bermasalah ketika perspektif etika yang digunakan adalah perspektif etika lokal sebagaimana ideologi Pancasila yang jelas-jelas lahir dari rahim kebudayaan lokal Indonesia sendiri.
Dengan demikian terang bahwa secara ideologis di balik penggempuran terhadap demokrasi yang dirasakan sedang tak baik-baik saja itu adalah sebentuk pembasmian lokalitas dan peneguhan liberalisme, yang konon memberlakukan satu-satunya ukuran yang mesti dipakai adalah ukuran “Barat,” “Putih,” “Utara,” dsb.
Pun, kalangan yang lazim menggunakan agama sebagai pendekatan politik dan ideologi, meskipun malu-malu tak sebagaimana dahulu. Dari berbagai data yang ada, dengan kemenangan telak paslon 02, terbukti pendekatan politik semacam itu tak juga menjadi pilihan bangsa Indonesia. Dengan terpilihnya pasangan Prabowo-Gibran, yang terang-terangan memosisikan diri pada posisi moderat, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia sudah muak dengan terjadinya radikalisasi, polarisasi, dan perpecahan.
Tuntutan zaman, sebagaimana dibuktikan dengan kemenangan pasangan Prabowo-Gibran, pada akhirnya adalah faktor terkuat yang menjadi motor pergerakan dan pilihan bangsa Indonesia yang sudah banyak mengalami kerapuhan kebangsaan karena deraan liberalisme dan eksklusifitas keagamaan. Ketika pun sisa daya terlihat masih digunakan untuk membasmi lokalitas itu, orang sudah paham tentang akhir dari suatu ketakrelaan: telat zaman.