Tidak Bisa Menerima Kekalahan Menjadi Sumber Petaka Bagi Bangsa

Tidak Bisa Menerima Kekalahan Menjadi Sumber Petaka Bagi Bangsa

- in Narasi
63
0
Tidak Bisa Menerima Kekalahan Menjadi Sumber Petaka Bagi Bangsa

Pesta demokrasi telah usai terlaksana pada tanggal 14 Pebruari 2024 lalu. Suatu proses memilih pemimpin secara langsung. Masyarakat telah menumpahkan pilihan hati nuraninya masing-masing dalam memilih Capres dan Cawapres, DPR RI, DPR Provinsi, DNA DPR Kabupaten/Kota.

Dalam kontestasi menang dan kalah pasti terjadi. Dibutuhkan sikap kesatria setiap kontestan untuk menerima kenyataan pasca Pemilu. Kekalahan memang mengecewakan. Tetapi, hal terbaik menyikapi kekalahan adalah dengan berbesar untuk menerima kenyataan dan sebagai evaluasi di episode berikutnya.

Pada Pemilu kali ini tampaknya pertarungan di Pilpres lebih seru dibanding Pileg dan menyita banyak perhatian masyarakat Indonesia. Pasalnya, hasil perhitungan cepat (quick count) menunjukkan hasil signifikan pada salah satu Paslon di atas 50% dan dipastikan berlangsung satu putaran.

Ada ketidakpuasan di lain pihak. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kalah versi quick count menyangka ada kecurangan dalam Pemilu kali ini. Situasi di Indonesia berada diambang terjadinya kemelut horizontal. Sikap tidak bisa menerima kekalahan berpotensi menciptakan konflik antar masyarakat pendukung.

Tanpa mengenyampingkan kemungkinan kecurangan yang dilakukan oleh pihak yang menang, tapi kecenderungan tidak bisa menerima kekalahan bisa menjadi masalah besar dan mendasar bagi negara ini. Masyarakat sesegera mungkin harus menyadari dalam kontestasi apapun menang atau kalah adalah konsekuensi yang harus diterima secara bijak.

Kalau tidak demikian, potensi terjadinya perpecahan di tubuh bangsa ini tidak mustahil terjadi. Banyak contoh negara lain yang harus hancur dilanda kecamuk perang pasca Pemilu akibat pihak yang kalah tidak bisa menerima kekalahan.

Tahun 2012 Mesir diguncang perang saudara. Pasca Pemilu di tahun tersebut ada pihak yang tidak bisa menerima kekalahan atas kemenangan Muhammad Mursi dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Sampai-sampai Mursi di kudeta oleh pihak militer. Abdel Fattah el Sisi jenderal militer Mesir kemudian naik tahta menggantikan Mursi.

Kudeta ini menelan banyak korban, terutama penikaman proses demokrasi disana. Demokrasi telah dicederai. Rotasi kepemimpinan secara periodik dalam proses demokrasi telah mati.

Tidak hanya Mesir, di Honduras bentrokan antara pendukung Paslon yang kalah dengan pihak kepolisian terjadi pasca Pemilu. Sekalipun pemilu telah usai dua tahun sebelumnya namun bentrok tetap berlangsung. Manuel Zelaya (mantan presiden) dikalahkan oleh Hernandez. Kerusuhan terjadi dan berlangsung lama.

Dua contoh di atas menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia, terutama bagi kontestan dan pendukung yang kebetulan mengalami kekalahan. Mengorbankan bangsa demi ambisi pribadi sangatlah tidak pantas. Korban terbesar apabila terjadi konflik pastilah masyarakat yang tidak mengerti situasi dan tujuan sebenarnya dari apa yang mereka lakukan.

Pentingnya Merawat Kebhinekaan Pasca Pemilu

Ada pergeseran kebhinekaan pasca Pemilu kali ini. Saling berdebat tak berkesudahan selalu saja terjadi, baik secara langsung dengan tatap muka dan lebih-lebih di media sosial yang menyebabkan mengikisnya persaudaraan dan berpotensi menimbulkan konflik.

Kita perlu ingat, sebelum bangsa ini tumbuh sebagai negara bangsa, jauh sebelumnya bangsa ini menjadi bangsa yang kuat melalui spirit-spirit kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Demikian pula di masa penjajahan, para pemuda dari berbagai latar belakang menjadikan kolektifitas sebagai nafas pergerakan sehingga bangsa ini mampu merdeka dari cengkraman kolonialisme.

Untuk itu seluruh elemen bangsa sejatinya merawat spirit persatuan dan ruh kesatuan setelah Pemilu sebagai modal untuk merawat kebhinekaan yang telah ada. Sangat disayangkan apabila pesta demokrasi kita menjadikan masyarakat cenderung tidak dewasa. Pemilu tidak lain hanya bertujuan memilih pemimpin yang dipandang baik oleh setiap warga. Maka apapun hasilnya harus diterima sebagai kenyataan.

Pasca Pemilu kita harus kembali kepada identitas dan jati diri sebagai warga negara Indonesia, kembali pada citra kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi persaudaraan dan kebersamaan tanpa memandang perbedaan suku, ras dan agama serta tanpa memandang pendukung Paslon nomor berapa.

Sekalipun disaat Pemilu kita berbeda pilihan karena perbedaan menilai kapasitas dan kapabilitas calon pemimpin, namun begitu, kita berbeda tetapi tetap satu dan sama-sama sebagai rakyat Indonesia.

Karenanya, para kontestan, timses, tokoh agama, negarawan, akademisi, tokoh pemuda, tokoh organisasi-organisasi, dan semua komponen bangsa harus kembali menghangatkan suhu-suhu Pemilu ini dengan segala kegembiraan serta tidak menciptakan konflik.

Kita semua harus lebih dewasa dalam menyikapi hasil Pemilu. Tidak mengedepankan caci maki, apalagi menjadi tameng orang-orang yang memiliki kepentingan praktis. Terutama bagi generasi Gen Z dan Milenial, harus tampil sebagai generasi yang kritis, rasional dan bertanggungjawab supaya bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang beradab, jangan mau hancur-hancuran sebagai sebagai generasi biadab yang anti toleransi.

Facebook Comments