Ramadan; Sarana Menghapus Stereotip Negatif Tentang Islam

Ramadan; Sarana Menghapus Stereotip Negatif Tentang Islam

- in Narasi
165
0
Ramadan; Sarana Menghapus Stereotip Negatif Tentang Islam

Peringatan Hari Memerangi Islamofobia Internasional tahun ini bertepatan dengan datangnya bulan Ramadhan. Lantas, adalah hubungannya antara Ramadan dengan upaya melawan sentimen negatif terhadap Islam?

Jika dibaca secara obyektif, Islamofobia itu fenomena yang valid. Kita tentu tidak ada dalam posisi menormalisasi Islamofobia. Namun, kita juga tidak bisa begitu saja menutup mata bahwa banyak perilaku umat Islam yang kerap melatari munculnya gejala Islamofobia di Barat.

Misalnya saja, gerakan radikalisme dan ekstremisme di dunia Islam yang menjadi akar Islamofobia di dunia Barat. Harus diakui bahwa sejumlah umat Islam masih gandrung pada ideologi kekerasan dan teror. Mereka menganggap kejayaan Islam bisa kembali ditegakkan dengan jalan peperangan.

Ironisnya, media Barat selama ini lebih sering menampilkan wajah Islam yang bengis dan kejam. Profil seorang Usama bin Laden atau Abu Bakar Al Baghdadi lebih sering muncul di media massa. Ketimbang misalnya ulama-ulama yang sejuk pandangannya dan halus tutur katanya.

Demikian pula, pasukan-pasukan organisasi teroris seperti Taliban, Alqaeda, Jamaah Islamiyyah, Boko Haram atau ISIS lebih sering muncul di media massa Barat, alih-alih wajah para santri di pondok-pondok pesantren yang tengah belajar khazanah keilmuan Islam.

Maka, melawan Islamofobia itu sebenarnya adalah melawan persepsi masyarakat Barat atau dunia yang salah atas Islam. Perang melawan Islamofobia dengan demikian adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya berbeda dengan apa yang selama ini diimaninasikan oleh masyarakat Barat.

Menghapus Islamofobia, dengan demikian harus dilakukan dengan mengeliminasi akar fenomena tersebut, yakni ideologi radikal dan ekstrem. Untuk itu, umat Islam perlu mereformasi pola pikirnya dan cara pandangnya dalam beragama dari nalar konservatisme ke nalar moderatisme.

Puasa Ramadan kiranya bisa menjadi sarana menundukkan nalar konservatisme beragama itu tadi. Mengapa bisa demikian?

Nalar keberagamaan konservatif itu biasanya muncul karena adanya klaim kebenaran sepihak. Sikap merasa paling benar dan paling suci rawan menjebak umat Islam pada perilaku mengkafirkan orang lain. Ideologi takfirisme ini lantas menjadi alat justifikasi alias pembenaran bagi tindakan kekerasan dan teror terhadap kelompok yang berbeda.

Puasa Membersihkan Jiwa dari Konservatisme Beragama

Perilaku kekerasan dan teror juga muncul karena tergerusnya sikap empati dan empati umat Islam kepada golongan lain. Kehendak untuk menjadi wakil Tuhan di muka bumi kerap mendorong umat Islam berlaku sewenang-wenang pada umat agama lain. Misalnya bertindak intoleran, bahkan memakai cara kekerasan untuk memaksakan kehendak.

Pendek kata, nalar konservatisme beragama adalah wujud lain dari nafsu hewani manusia. Kehendak manusia untuk selalu lebih dominan dari kelompok lain muncul dari nafsu lawwamah yang diumbar tidak dikendalikan. Maka, untuk mengeliminasi konservatisme beragama itu kita perlu menundukkan nafsu lawwamah kita.

Puasa merupakan riyadhoh spiritual untuk menundukkan segala hawa nafsu negatif. Di tingkatan paling awal, puasa tentu bermanfaat untuk menekan nafsu biologis, yakni makan, minum, dan nafsu seksual.

Nafsu biologis ini jika tidak dikendalikan rawan membuat manusia menjadi makhluk irasional. Yakni mahluk yang perilakunya disetir oleh hawa nafsu. Ketika manusia dikendalikan oleh hawa nafsunya, maka ia akan menjadi makhluk yang destruktif alias memiliki kecendrungan merusak.

Di tataran selanjutnya, puasa Ramadan juga bisa menjadi latihan spiritual untuk menundukkan nafsu psikologis seperti hasrat ingin diakui, dihormati, dan menguasai orang lain. Hasrat psikologis inilah yang kiranya menjadi akar bagi perilaku radikal dan esktrem dalam beragama. Kaum radikal dan teroris umumnya rela melakukan tindakan kekerasan bermotif agama lantaran ingin diakui, dihormati, dan menguasai golongan lain.

Di saat yang sama, puasa juga mengajarkan kita akan nilai kepedulian terhadap sesama dan penguatan prinsip kemanusiaan. Ibadah yang kita jalani selama bulan Ramadan akan membentuk kita menjadi individu yang tidak hanya relijius, namun juga humanis.

Dampak positif Ramadan dalam menekan hawa nafsu psikologis ini tidak hanya dirayakan sebagai personal atau individual saja. Melainkan juga berdampak secara komunal. Ini artinya, ritual puasa Ramadan akan melunturkan stereo negatif tentang Islam yang selama ini kadung diyakini oleh masyarakat Barat atau internasional.

Melalui ritual puasa Ramadan ini, kita bisa menunjukkan wajah Islam yang toleran, inklusif, dan moderat. Dengan begitu, stereotipe negatif tentang Islam yang menjadi latar fenomena Islamofobia bisa direduksi.

Dampak positif Ramadan yang bisa mengendalikan hawa nafsu biologis dan psikologis ini kiranya bisa berlanjut sampai pasca Ramadan dan berlaku sepanjang tahun. Dengan demikian, umat Islam akan hidup sebagai bagian dari pergaulan warga global yang menjunjung tinggi perdamaian, kepedulian, dan kemanusiaan.

Facebook Comments