“Kajian tentang kearifan lokal harus dipandang sebagai pengetahuan yang dinamis”, jelas Rangga Kala Mahaswa (Dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada) dan Jagat Patria (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) dalam sebuah artikel di buku “Teknologi dan Kearifan Lokal untuk Adaptasi Perubahan Iklim” terbitan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam tulisan itu mereka merefleksikan bagaimana kearifan lokal tidak berdiri sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah, akan tetapi sebagai sebuah gerakan yang selalu dinamis. Kearifan lokal terus diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang menyesuaikan zaman dan perlu ditanggapi secara kritis. Namun, tanggapan kritis ini bukan dimaksudkan untuk menolak atau menghilangkannya, akan tetapi justru untuk menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Contohnya dalam Riyoyo Kupat, atau Lebaran Ketupat. Tradisi yang lahir di Jawa ini merupakan salah satu bentuk dinamisnya pertemuan tradisi Islam dengan kaya ragamnya tradisi Indonesia. Sayangnya, tradisi ini tidak selalu membawa respon baik karena ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak benar, bahkan dituduh sesat.
Ada sebuah paham yang dapat kita cermati di sini, yaitu paham yang disebut esensialisme. Paham ini menganggap segala sesuatu itu statis, yaitu bahwa sesuatu memiliki bentuk yang tetap dan tidak berubah-ubah. Paham esensialisme ini menilai sesuatu dari benar atau salahnya semata. Paham itu terjebak pada anggapan bahwa perubahan dan perwujudan yang beragam itu adalah kecemaran yang harus dihindari. Akhirnya, pandangan esensialis ini biasanya akan mencanangkan prasyarat tertentu dalam menilai segala sesuatu dan bersikap anti terhadap dinamika sosial dan perkembangan zaman. Biasanya, dampak buruk yang muncul dari pandangan ini adalah eksklusivisme, yang jelas bertentangan dengan prinsip kebhinekaan Indonesia.
Contohnya, dalam memandang tradisi Riyoyo Kupat ini, paham esensialis akan menganggap bahwa tradisi ini tidak benar karena bentuknya berbeda dari apa yang “asli” menurut ukuran mereka sendiri. Jadi, ada prasyarat “keaslian” yang mereka tetapkan sendiri, yang di dalamnya mereka mensyaratkan tidak adanya perubahan dan penyesuaian dalam bentuk apapun. Kemudian tradisi Riyoyo ini diukur melalui prasyarat yang mereka tetapkan itu. Oleh karena mereka melihat adanya perubahan, maka mereka menuduh bahwa tradisi Riyoyo Kupat itu tidak asli, lantas salah, bahkan sesat.
Namun, kita sebagai bangsa Nusantara sudah memahami betul bagaimana ragam tradisi itu berpindah, menyebar, dan bertemu dengan tradisi-tradisi lainnya. Tradisi-tradisi itu saling membentuk dan menyesuaikan satu sama lain, bukan demi menghilangkan atau mengalahkan satu sama lain, akan tetapi justru memperkaya pemaknaannya.
Salah satu contohnya adalah bagaimana tradisi Hindu bertemu dan saling membentuk dengan masyarakat Bali. Bentuk kehinduan di Bali jauh berbeda dengan bentuk kehinduan di India. Masyarakat Bali tidak pusing dengan “keaslian”, akan tetapi justru mengambil dan memaknai kehinduan yang datang itu dengan cara mereka sendiri. Alhasil, karena dimaknai dengan cara sendiri, kehinduan yang terbentuk di Bali tidak lagi dapat dikatakan sebagai Hindu yang dimiliki orang India, akan tetapi sungguh-sungguh dihayati sebagai bagian yang tidak terpisahkan, mendarah daging dalam kehidupan dan keseharian orang Bali.
Demikian tradisi Islam bertemu juga dengan tradisi Indonesia dan berwujud dalam tradisi Riyoyo Kupat. Dengan menyadari bahwa tradisi itu dinamis, sehingga ia datang dan saling membentuk dengan masyarakat yang menerimanya, kita sedang menyaksikan bagaimana masyarakat Jawa sedang menjadikan tradisi keislaman itu sebagai sesuatu yang betul-betul miliknya sendiri. Di sana keindonesiaan, kejawaan, dan keislaman saling membentuk menjadi sebuah tradisi yang “asli Jawa” dan “asli Indonesia”. Tidak ada tradisi yang “palsu”. Dengan begitu terlihat bahwa sebenarnya paham yang esensialis terhadap tradisi malah menempatkan permusuhan antara keislaman, kejawaan, dan keindonesiaan.
Namun, seperti yang diwanti-wanti oleh Mahaswa dan Patria tadi, kita harus terus mengingat bahwa tradisi tersebut tidak tetap. Bahkan, ketika berpindah, tradisi tidak hanya seperti disalin-tempel saja, akan tetapi juga terus berubah dalam pergerakannya. Perubahan-perubahan ini mewujud dalam bentuk-bentuk yang khusus, yang tentu perlu juga untuk dilihat secara kritis.
Dalam penelusuran kritis ini, yang perlu dilihat bukanlah perubahan dalam bentuknya, akan tetapi dalam pemaknaannya. Jadi, pertanyaan yang tepat sebenarnya bukan lagi tentang “keaslian” tradisi itu, akan tetapi apakah nilai-nilai yang dibawa dalam Riyoyo Kupat itu masih selaras dengan keislaman, kejawaan, dan keindonesiaan. Selama nilai-nilai luhur tentang rasa syukur dan kasih kebersamaan masih sesuai dengan keislaman, kejawaan, dan keindonesiaan, maka Riyoyo Kupat dan bentuk-bentuk tradisi perayaan lainnya tidak perlu dipermasalahkan lagi; dirayakan saja cukup.