Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

- in Narasi
187
0
Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk menggunakan jilbab ke sekolah. Dari informasi yang diterima, siswi tersebut diminta untuk tidak menggunakan jilbab dengan alasan agar pakaian yang digunakan para siswi seragam. Karena hal itu, siswi itu kemudian pulang dalam kondisi menangis dan menceritakan hal itu ke orang tuanya yang kemudian mendatangi sekolah untuk menyampaikan keberatan.

Kasus sebaliknya persis terjadi sebulan setelah itu di Bantul, Yogyakarta. Seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan mengalami depresi karena dipaksa menggunakan jilbab. Ia mengaku dipanggil ke ruangan Bimbingan dan Konseling (BK) dan ditanya alasan tak mengenakan jilbab. Siswi itu dicecar beberapa pertanyaan hingga merasa terpojokkan, kemudian izin ke toilet untuk menangis lebih dari satu jam. Ternyata, yang bersangkutan merasa depresi dan tertekan.

Dua contoh kasus tersebut menyiratkan satu pesan: ada yang belum beres dari sistem pendidikan di negara ini, terutama sekolah menengah negeri. Mindset intoleran dan eksklusivisme masih bersarang kuat, bahkan menggerogoti civitas struktural lembaga pendidikan itu sendiri. Tentu saja ini merupakan sinyal buruk: benih terorisme tidak lain adalah sikap intoleran. Intoleransi lahir dari paradigma eksklusif bahwa “kita” yang paling benar, sementara “selain kita” salah semua.

Kasus tersebut menjadi preseden buruk yang berusaha menanamkan kebencian terhadap keberagaman kepada para anak didik. Ironisnya, itu terjadi di lembaga pendidikan negeri, yang seharunya kebhinekaan merupakan sesuatu yang menjadi landasan utama—diterima dan tidak lagi diperdebatkan. Demikian karena toleransi itu mutlak. Bukan sekadar menghargai perbedaan, tapi lebih dari itu tidak ada kebencian sedikit pun pada perbedaan.

Problem Mayoritas-Minoritas

Kenapa intoleransi dan eksklusivisme bisa muncul dalam pendidikan negeri? Jawabannya: karena cara beragamanya tidak berpegang teguh kepada konsep moderasi. Pertanyaan “kenapa harus terjadi dalam pendidikan negeri” sama dengan pertanyaan “kenapa kampus seperti UI dan UGM lebih mudah dirasuki paham radikal.” Oleh karena terjebak dalam utopia dominasi agama tertentu, ia kemudian ingin segalanya berada di tangan “diri” dan mengabaikan “liyan”.

Kasus ini menjadi secuil bukti dari ratusan bahkan mungkin ribuan kasus sejenis yang tidak terekspos ke media. Pengarusutamaan yang memaksa seperti dilakukan sang guru dilatarbelakangi mindset dikotomis: mayoritas dan minoritas. Kita sering menyaksikan Islam minoritas di negara lain diperlakukan tidak adil, lalu kita bermaksud balas dendam dengan melakukan hal yang sama di Indonesia, di mana Muslim adalah mayoritas.

Selain itu, selama ini, pemahaman kebangsaan selalu bergema justru melalui institusi swasta dan dimotori oleh civil society. Moderasi beragama digaungkan oleh menteri agama, tetapi eksekusinya malah di pesantren, misalnya. Pada saat yang bersamaan, ideolog radikal justru menarget lembaga negeri; institusi pemerintah hingga sekolah dan universitas negeri. Keberislaman mereka yang dangkal menjadi sasaran empuk para radikalis menyebarkan paham intoleran dan eksklusivisme.

Karena itu, selama pandangan eksklusif dan intoleran menguasai iklim keberagamaan, pendidikan tidak akan pernah maju. Di situlah peneguhan nilai kebangsaan, pemetaan pandangan siswa atas keragaman dan diskriminasi, serta pelaporan kasus-kasus serupa merupakan sesuatu yang niscaya. Lembaga pendidikan di Indonesia mesti mengaju pada prinsip multikulturalisme, agar yang mayoritas tidak sok dan yang minoritas tidak lagi terdiskriminasi.

Mengarusutamakan Toleransi dan Inklusivisme

Satu hal penting yang wajib kita catat adalah, yang terjadi di SDN Gunungsitoli dan SMAN 1 Bantul merupakan miniatur belaka. Ada yang jauh lebih berbahaya, yaitu bila eksklusivisme berada di lingkup yang lebih luas: negara. Pelaku di lembaga-lembaga pendidikan negeri tadi boleh jadi hanyalah oknum guru, tetapi semangat intoleransi dan eksklusivisme tengah disemarakkan oleh para ideolog radikal dengan cara merombak sistem dan melengserkan yang tengah menjadi penguasa.

Dengan demikian, bukan kasus sekolahnya yang perlu diberantas bersama, melainkan semangat eksklusivisme itu sendiri. Dan itu bisa terjadi di manapun, baik lembaga pendidikan negeri maupun swasta. Jika hari ini telah kita cium anasir eksklusivisme di sekolah dan universitas negeri, besok mungkin kasus serupa terjadi di sekolah-kampus swasta. Bukan mustahil juga, bila tanpa kebijakan yang tepat, lusa mereka akan menggerogoti pemerintahan secara keseluruhan.

Itulah musuh bangsa Indonesia yang perlu menjadi sorotan bersama. Kontra-narasi intoleransi, eksklusivisme, radikalisme, dan terorisme merupakan langkah yang perlu dimasifkan. Lantas, bagaimana cara menyadarkan semua pihak bahwa di neger ini, semua orang adalah sejajar tanpa melihat agama? Umat Islam bisa menjawabnya dengan bertolak dari kesadaran akan tiadanya sekat mayoritas-minoritas. Negara Indonesia tidak mengenal dikotomi semacam itu. Semuanya setara sebagai warga negara.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2024. Semoga iklim pendidikan di Indonesia senantiasa berada di khitah idealnya: menjunjung tinggi toleransi dan inklusivisme demi Indonesia Emas di masa depan.

Facebook Comments