Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari kuasa Ilahi tersebut merupakan kekayaan, sekaligus kekuatan sebagai modal kemajuan bangsa apabila dikelola secara baik. Sebaliknya, apabila tidak dikelola secara bijak bisa menjadi sumber petaka, kekerasan, dan bahkan pertikaian.
Secara umum, bahkan telah terjadi sejak zaman nenek moyang, masyarakat Indonesia hidup berdampingan secara damai. Masyarakat Indonesia dengan berbagai latar perbedaan yang melingkupinya bahkan dapat saling bekerja sama dalam berbagai bidang sendi kehidupan seperti pendidikan, ekonomi dan bahkan keagamaan. Perbedaan tidak menjadi sekat pemisah untuk saling tolong-menolong dan gotong-royong.
Namun, belakangan keindahan toleransi dalam kehidupan masyarakat Indonesia diciderai oleh berbagai persoalan, salah satunya pengokohan perspektif kebenaran versi diri sendiri dan mengaburkan perspektif kebenaran milik orang lain, terutama dalam kehidupan keberagamaan. Seseorang dengan mudah mengafirmasi nilai kebenaran pihak lain dan menjustifikasi bahwa kebenaran mutlak semata ada di pihaknya.
Ya, benar demikian. Dalam satu dekade terakhir ini kita merasakan ada gejala meningkatnya berbagai bentuk intoleransi, terutama dalam bidang agama, baik antar agama maupun di internal agama tertentu. Intoleransi keagamaan meningkat tajam. Kekerasan spiritual dalam bentuk ujaran kebencian, penyesatan paham keagamaan dan penghinaan eskalasinya menanjak secara signifikan.
Lebih miris lagi, kasus-kasus yang mengancam membelah persatuan dan kedamaian malah terjadi di lingkungan pendidikan. Perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi akhir-akhir ini marak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan yang sejatinya sebagai rumah kedua bagi siswa untuk membentuk karakter inklusif dan berakhlak baik.
Tak terkecuali dalam Pendidikan Agama Islam (PAI). Muatan kurikulum PAI, paham Islamisme guru dan materi keagamaan di internet berkontribusi terhadap sikap dan perilaku sikap intoleran dikalangan siswa. Sehingga tiga dosa besar dunia pendidikan, yaitu perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi sering pula terjadi di lingkungan pendidikan berbasis agama Islam.
Orientasi Pendidikan Agama Islam yang berorientasi pluralis dan terbuka dengan landasan akhlakul karimah telah kehilangan elan vitalnya sebagai basis pendidikan yang multikulturalisme. Pendidikan Islam tercemar dengan terjadinya kasus-kasus tiga dosa besar dunia pendidikan yang seringkali terjadi.
Supaya ketercemaran tersebut tidak semakin keruh harus dijelaskan secara komprehensif tentang riwayat pendidikan inklusif dalam agama Islam, lebih spesifik pada peran pendidikan Islam dalam membentuk dan membangun karakter murid yang berakhlak mulia dan toleran. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam yang sangat banyak di Indonesia mampu melahirkan SDM yang berkualitas, baik dalam aspek moral (afektif) maupun pengetahuannya (kognitif).
Arah dan Wawasan Pendidikan Islam
Pendidikan berbasis Islam seperti pesantren, madrasah diniyah dan sejenisnya didirikan berbekal suatu tujuan. Tujuan paling utamanya adalah pembentukan akhlak terpuji dan pemahaman terhadap ajaran Islam yang mendalam.
Pendidikan Islam adalah proses bimbingan dan pengajaran untuk meningkatkan potensi keimanan, intelektualitas, kepribadian dan keterampilan peserta didik sebagai bentuk mempersiapkan peserta didik di masa depan yang berpijak pada ajaran Islam yang benar.
Sebagian pakar pendidikan Islam mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu proses atau usaha yang dilakukan secara sadar untuk mendidik, mengarahkan dan mengembangkan secara optimal fitrah atau potensi manusia baik jasmani maupun ruhani yang dipijakkan pada nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil alamin untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam di dasarkan pada dua sumber primer hukum Islam, yakni al Qur’an dan hadits. Dua sumber yang mengajarkan manusia supaya memiliki keimanan kokoh tak tergoyahkan, namun tidak menafikan nilai-nilai kemanusiaan seperti adanya perbedaan dalam setiap pribadi manusia. Seperti dicontohkan oleh Baginda Rasulullah dalam kehidupannya sehari-hari.
Idealnya pendidikan Islam membiasakan peserta didik untuk berbeda pandangan. Sebagai contoh, dalam pelajaran fikih minimal memperkenalkan ada empat madhab, dimana masing-masing seringkali berbeda pendapat tentang suatu hukum padahal merujuk pada dalil yang sama.
Contoh lain, siswa diajarkan untuk menghormati kawan lain yang non muslim, dan penghormatan tersebut sama sekali tidak akan mengurangi takaran dan kadar keimanan yang dimiliki. Saat teman non muslim merayakan hari raya keagamaannya, siswa muslim tidak boleh ditakuti bahwa menghormati hari raya mereka dapat mengikis akidah. Sementara di internal agama sendiri guru tidak boleh menyembunyikan kebenaran jika itu termasuk masalah khilafiyah.
Telah sangat tegas dinyatakan baik dalam al Qur’an maupun hadits, pluralisme agama sangat dihormati dalam agama Islam. Pemaksaan agama bukan tindakan terpuji. Pluralisme atau menerima adanya kenyataan berbeda dalam realitas sosial telah sangat jelasa disebut dalam al Qur’an sebagai fitrah kehidupan yang tidak bisa ditolak. Dengan demikian, pluralisme agama bukan menyamakan seluruh agama, tapi sekadar menghormati agama dan pemeluk agama yang berbeda.
Orientasi pendidikan Islam adalah dalam rangka membentuk peserta didik yang pluralis, yaitu memahami ajaran dan nilai-nilai agama secara mendalam sehingga menjiwai ajaran Islam secara utuh. Sebab pemahaman yang parsial terhadap ajaran Islam dapat menumbuhkan sikap suka menyalahkan terhadap pemahaman orang lain.
Selain memahami ajaran dan nilai-nilai agama Islam secara mendalam, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk peserta didik taat beribadah, berakhlak mulia, memiliki sikap toleran, menghormati, menerima, mengakomodasi, dan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dan terhadap mereka yang memiliki paham keagamaan yang berbeda.
Dengan demikian, seperti dicontohkan Nabi, peserta didik dalam lembaga pendidikan Islam dapat menjadi aktor dan pelopor dalam membangun kehidupan masyarakat yang rukun dan damai di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Perbedaan agama, suku dan budaya dipahami sebagai fitrah kehidupan yang sengaja diciptakan oleh Allah untuk diterima secara sadar. Pendidikan dalam Islam dibangun di atas basis nilai-nilai pluralitas; kebebasan, keterbukaan, kebersamaan dan kerja sama.
Untuk mencapai semua itu, maka pembinaan terhadap guru Pendidikan Agama Islam mutlak diperlukan. Sekalipun bukan segala-galanya, guru merupakan central figure yang menentukan keberhasilan pendidikan. Disamping itu, guru merupakan teladan bagi siswa. Guru, aka digugu dan ditiru kesehariannya oleh siswa atau murid. Guru harus memiliki wawasan yang luas, bersikap terbuka, dan perilaku yang inklusif.
Apabila demikian, tiga dosa lembaga pendidikan yaki perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi dengan sendirinya tidak akan terjadi sebab hal tersebut memang nyata-nyata dilarang dalam agama Islam. Sebuah penyimpangan dan merupakan dosa besar. Maka, kalau tiga tindakan tidak terpuji tersebut terjadi dalam sebuah lembaga pendidikan, yang melanggar ajaran Islam bukan hanya pelaku saja melainkan menjadi dosa kolektif semua yang terlibat dalam lembaga pendidikan tersebut, terutama guru.