Tanggal 30 Juni 2024 menjadi momen bersejarah bagi organisasi radikal Jamaah Islamiyyah. Tersebab, mereka resmi membubarkan diri. Mereka pun meminta maaf atas segala perilaku yang merugikan bangsa dan negara.
Mereka juga mengubah kurikulum pesantren di bawah naungan JI. Deklarasi pembubaran ini, Abu Rusydan, setelah musyawarah para petinggi JI, di Bogor. Pembubaran diri JI ini mengingatkan kita pada sikap Abu Bakar Baasyir yang menyatakan menerima Pancasila.
Baasyir sebelumnya merupakan pemimpin JI, sebelum bergabung dengan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) dan mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Di titik ini, kita barangkali bisa mengambil kesimpulan awal bahwa pembubaran diri JI ini terinspirasi oleh perubahan sikap Baasyir tersebut.
Secara historis, sepak terjang JI tentu sudah tidak diragukan lagi. JI adalah organisasi yang melahirkan teroris-teroris kelas wahid di negeri ini. Pengamat terorisme mulai dari Sidney Jones hingga Al Chaidar mengakui bahwa JI adalah kelompok transnasional yang jauh lebih berbahaya ketimbang kelompok lain seperti Al Qaeda, bahkan ISIS sekalipun.
Struktur organisasi dan keanggotaan JI dikenal ketat dan eksklusif. Jabatan tinggi di JI hanya bisa dipegang oleh sosok yang paham ilmu agama, lihai dalam strategi pertempuran, dan punya kharisma tinggi. Tidak semua orang bisa menjadi anggota JI. Diperlukan proses rekrutmen yang panjang untuk bisa menjadi anggota JI.
Namun, dari situlah lahir teroris-teroris paling berbahaya seperti trio bom Bali (Amrozi, Imam Samudra, Mukhlas), pakar bom Umar Patek, Ali Imron, dan sejumlah nama lainnya. Skala teror yang direncanakan dan dieksekusi oleh JI pun tergolong high effect terrorism, baik dari jenis serangan, senjata, maupun jumlah korban jiwa dan dampak sosial politik yang ditimbulkan. Pembubaran JI Sebagai Keberhasilan Deradikalisasi
Maka, kita patut menyambut gembira langkah JI yang membubarkan diri. Di satu sisi, kita harus melihat fenomena pembubaran diri JI ini sebagai keberhasilan agenda deradikalisasi yang dilakukan pemerintah, dengan leading sector-nya, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Deradikalisasi selama ini kerap dipandang sinis oleh sebagian kalangan. Dianggap membuang-buang anggaran, bahkan dicap sia-sia. Anggapan ini tentu salah kaprah. Deradikalisasi itu proses panjang.
Sama halnya ketika individu menjadi terori, itu prosesnya tidak instan, sehari kenal ideologi radikal, lantas jadi teroris. Namun, ada sejumlah tahapan yang dilalui. Mulai dari konservatif, radikal, ekstremisme, lalu teroris.
Demikian pula, mengubah cara pandang seseorang yang terpapar terorisme agar kembali menjadi moderat dan nasionalis juga tidak mudah. Ada banyak tahapan yang harus dilalui. BNPT selama ini aktif melakukan deradikalisasi dengan berbagai pendekatan.
Membongkar ideologi yang kadung menancap kuat di pikiran manusia itu tidak mudah. Diperlukan proses panjang, melibatkan banyak pihak, dan memadukan berbagai pendekatan. Kadang kala, problem besar deradikalisasi adalah bagaimana mengembalikan mantan napiter ke tengah masyarakat.
Proses asimilasi itu kadang tidak mudah. Di satu sisi, mantan napiter merasa tidak percaya diri kembali ke masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga enggan menerima kembali mantan napiter karena latar belakangnya sebagai teroris.
Tetap Waspada Penyebaran Ideologi Ekstrem
Perubahan sikap sejumlah mantan napiter, seperti Ali Imron, Ali Fauzi, Nasir Abbas, Sofyan Tsauri, Abdurrahman Ayub, termasuk Abu Bakar Baasyir dan sejumlah nama lain adalah bukti keberhasilan program deradikalisasi BNPT.
Bahwa masih banyak mantan napiter yang kembali ke gerakan radikal, itu tidak bisa dimungkiri. Namun, deradikalisasi bukanlah program sia-sia yang membuang uang negara seperti dituduhkan banyak kalangan.
Di sisi lain, kita juga patut tetap waspada atas pembubaran diri Jamaah Islamiyyah ini. Bagaimana pun JI adalah organisasi teroris yang biasa bergerak di bawah tanah. Artinya, tanpa lembaga resmi puh mereka masih tetap bisa bergerak dan menebar ancaman untuk bangsa dan negara.
Kita patut belajar dari kasus Hizbut Tahrir Indonesia yang meski sudah dibubarkan dan dilarang namun tetap menjalankan aktivitas dakwah, bahkan secara lebih leluasa. Kita harus menyisakan ruang untuk skeptis pada pembubaran diri JI ini. Skeptis bukan berarti tidak percaya sama sekali, namun mencoba menyisakan ruang kritis.
Tentu bukan hal yang berlebihan untuk berpikir bahwa pembubaran diri JI ini adalah startegi mereka untuk lebih leluasa bermanuver di bawah tanah. Artinya, deklarasi pembubaran diri itu menjadi semacam pesan palsu (false message) yang bertujuan mengecoh pemerintah terutama aparat keamanan.
Di titik inilah kita tidak boleh lengah dalam hal mencegah penyebaran paham ideologi rasikal ekstrem. Organisasi radikal seperti JI, HTI, MMI, atau ISIS boleh saja dilarang atau dibubarkan. Namun, ideologi radikalisme ekstremisme akan terus eksis di tengah umat beragama yang konservatif, fanatik, dan formalistik.
Ideologi radikal ekstrem tidak akan laku jika umat beragama bisa mengadaptasi cara pandang moderat. Yakni menjadikan agama sebagai sumber nilai moral dan etika, bukan menjadikan agama sebagai simbol identitas apalagi alat politik untuk meraih kekuasaan.