Pancasila: Pentingnya Membaca Narasi Keagamaan Bersama Konteks Kebangsaan

Pancasila: Pentingnya Membaca Narasi Keagamaan Bersama Konteks Kebangsaan

- in Narasi
138
0
Pancasila: Pentingnya Membaca Narasi Keagamaan Bersama Konteks Kebangsaan

Hidup keagamaan sebuah masyarakat tidak pernah terlepas dari segi-segi lain kehidupan yang menjadi konteksnya. Contohnya, kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah, alur politik, situasi ekonomi, dan berbagai aspek lain yang turut membentuk hidup keagamaan setiap penduduknya. Namun, keterkaitan berbagai aspek ini seringkali diabaikan, sehingga pembacaan terhadap teks-teks suci keagamaan dibuat seakan-akan berlawanan dengan konteks yang membentuknya. Oleh karena itu, artikel ini akan mengemukakan pemikiran beberapa ahli untuk menunjukkan bahwa narasi keagamaan di Indonesia perlu dibaca bersama dengan konteks kebangsaan.

Agama sebagai Narasi yang Kontekstual

Peter Berger, seorang ahli sosiologi asal Austria, telah memerhatikan bagaimana tarik-ulur antara tradisi sekuler dan tradisi keagamaan terus bekerja. Mulanya, ia melihat bahwa paham sekularisme semakin menguat dan semakin menggeser cara-cara pandang keagamaan di masyarakat. Namun kenyataannya, setelah sekian dekade hingga hari ini, agama tetap berdiri sebagai “pasangan” yang berpadanan dengan sekularisme. Oleh karena itu, walaupun pengaruh sekularisme di berbagai negara semakin dominan, akan tetapi narasi-narasi keagamaan tetap nyaring disuarakan oleh masyarakat di berbagai konteks hingga hari ini.

Indonesia merupakan salah satu contoh baik di mana hidup keagamaan masyarakat berjalan sedemikian rupa sehingga praktik demokrasinya tetap berjalan baik. Indonesia sebagai negara bangsa berdiri dengan topangan keagamaan sebagai salah satu dasar negaranya. Alfred C. Stepan menyebut hubungan ini sebagai “toleransi kembar”, di mana organisasi keagamaan dan institusi negara saling memberikan ruang bagi satu sama lain, sehingga terbentuk sebuah simbiosis yang saling mendukung. Organisasi keagamaan memberi ruang bagi negara untuk menjalankan aktivitas demokrasi, sedang negara memberi organisasi keagamaan kebebasan untuk menjalankan aktivitas keagamaannya. Dari sini kita memahami bahwa keagamaan merupakan faktor penting yang memang tidak akan ditinggalkan begitu saja dari kehidupan masyarakat.

Membaca Narasi Keagamaan Bersama Pancasila

Selain itu, Pancasila juga turut bekerja sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hidup keagamaan masyarakat Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi landasan dari konstitusi dan hukum-hukum Indonesia, sekaligus menjadi landasan filosofis setiap warga negara dalam menjalankan kehidupan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Pancasila tidak dapat dilepas juga dari pemahaman kita tentang hidup beragama.

Di satu sisi, Pancasila bekerja sebagai pemersatu, bukan untuk membawa perpecahan. Pancasila merupakan salah satu contoh pola yang disebut oleh Robert Bellah sebagai “agama sipil”, di mana Pancasila sebagai agama sipil menjadi sebuah tujuan mulia yang menuntun jalannya proses-proses politik di masyarakat. Sebagai agama sipil, Pancasila memiliki simbol dan “ritual” yang menyertainya seperti Garuda sebagai lambang, upacara bendera dan lagu-lagu nasional sebagai “ritual” yang mengingatkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Berbagai elemen ini membawa fungsi pemersatu bagi bangsa Indonesia, sehingga Pancasila menjadi “agama sipil”, sebuah narasi pemersatu yang membentuk hidup keagamaan masyarakatnya. Dengan begitu, ketika narasi-narasi keagamaan kelompok radikal melabel Pancasila sebagai yang “sesat”, maka terlihat bahwa mereka bertujuan bukan untuk membawa persatuan, melainkan permusuhan, polarisasi, dan perpecahan di tengah masyarakat.

Di lain sisi, satu hal yang penting untuk ditekankan adalah bahwa pengalaman keagamaan memang akan berbeda dalam setiap konteks, karena keagamaan mereka akan dibaca bersama dengan konteks-konteks lokal yang ada di sana. Hal ini disebut sebagai “subjektifitas keagamaan” oleh Saba Mahmood. Kesadaran tentang beragamnya subjektifitas keagamaan ini juga dibenarkan oleh Pancasila yang menjunjung keragaman sebagai bagian dari kehidupan bangsa. Sebagai contoh, pengalaman orang Kristen yang tinggal di Eropa akan jauh berbeda dengan orang Kristen yang tinggal di Papua. Begitu juga pengalaman orang Hindu di India dan di Bali, dan pengalaman orang Islam di Mesir dan di Jawa.

Ketika narasi-narasi keagamaan mulai mengabaikan ragamnya subjektifitas keagamaan di Indonesia, ada tuduhan-tuduhan miring dari kelompok satu kepada kelompok lainnya. Mereka akan berpendapat bahwa hanya ada satu saja subjektifitas keagamaan yang benar, yaitu pendapat kelompok mereka sendiri. Pengalaman subjektif lain akan dituduh “sesat” oleh karena keterjebakannya pada subjektifitas keagamaan yang terjebak pada dogmatisme beragama. Paham-paham seperti ini dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal untuk membentuk polarisasi dan permusuhan demi menjalankan agenda-agenda politik mereka sendiri untuk merebut kekuasaan dan menggeser Pancasila.

Oleh karena itu, keagamaan kita harus dibaca bersama dengan Pancasila. Kelindan antara hidup keagamaan masyarakat dengan dasar negara akan menegaskan tiga hal, yaitu: (1) fungsi Pancasila sebagai agama sipil yang mempersatukan; (2) ragamnya subjektifitas keagamaan masyarakat hidup dalam berbagai konteks; dan (3) pentingnya pembacaan terhadap narasi keagamaan yang bersesuaian dengan Pancasila dan konteks kebangsaan Indonesia yang beragam.

Gerakan-gerakan keagamaan yang radikal akan terus berusaha untuk memaksakan sebuah pembacaan yang tunggal akan keagamaan mereka, mengabaikan konteks di mana keagamaan tersebut tumbuh. Konteks yang beragam akan mereka tuduh sebagai yang “sesat” atau “bidah” karena tidak sesuai dengan pembacaan mereka yang dogmatis. Dengan demikian, penting untuk melihat kehidupan keagamaan dalam nuansa pemahaman yang lebih mendalam. Keragaman merupakan asumsi dasar hidup beragama masyarakat Indonesia, yang ditopang oleh Pancasila sebagai salah satu dasar hidup bernegara dan beragama kita.

Facebook Comments