Sebagaimana kita pahami HTI sejak dulu telah mencita-citakan berdirinya khilafah. Namun, terkadang mereka mengalihkan agenda ini dengan mengatakan tujuannya hanya ingin membangun kehidupan yang islami dan menerapkan cara berislam secara kaffah. Islam kaffah memang menjadi salah satu slogan yang mereka gembar-gemborkan.
Pada dasarnya konsep Islam Kaffah yang seringkali mereka sampaikan hanya bagian dari cara membangun agenda khilafah. Mereka menginterpretasikan Islam Kaffah sebagai perintah yang didasarkan pada Al-Quran dan Hadis. Islam kaffah tidak mungkin terwujud tanpa adanya institusi yang bisa menopangnya. Institusi itulah yang dinamakan khilafah.
Islam Kaffah, yang berarti Islam yang menyeluruh atau total, seharusnya dipahami sebagai upaya untuk menjalankan ajaran Islam secara komprehensif dalam segala aspek kehidupan. Namun, interpretasi yang salah sering kali mengarahkan pada pemahaman yang rigid dan eksklusif. HTI kerap menyandarkan pemahaman Islam kaffah sebagai suatu yang institusional dan structural. Islam kaffah berarti menerapkan khilafah yang bisa mengatur seluruh kehidupan.
Pemahaman seperti itu justru mempersempit ruang Islam kaffah yang sebenarnya. Di situlah pentingnya memahami konteks historis, sosial, dan budaya yang penting dalam memahami pesan-pesan Al-Quran dan Hadis. Mengoptimalkan akal dalam membaca ayat-ayat Tuhan berarti kita harus mempertimbangkan konteks saat ayat tersebut diturunkan dan bagaimana aplikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari.
Interpretasi kontekstual adalah kunci untuk memahami teks-teks agama secara lebih mendalam dan relevan dengan kondisi zaman sekarang. Tanpa memahami konteks, akan berisiko mengambil kesimpulan yang keliru dan berpotensi merugikan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satu contoh kelompok yang mengusung konsep Islam Kaffah dengan interpretasi yang sempit. Mereka menekankan penerapan syariah secara ketat dan menolak segala bentuk inovasi atau adaptasi yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran asli. Namun, pendekatan ini sering kali mengabaikan prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan keadilan, rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), dan maslahah (kemaslahatan umum).
Tujuan berislam adalah bukan Islam kaffah, tetapi islam yang rahmatan lil alamin. Islam kaffah menjadi cara berislam yang komprehensif yang meliputi keyakinan, syariat dan akhlak. Berislam tidak boleh hanya pada level keyakinan, atau hanya syariat, dan atau hanya akhlak. Berislam adalah secara kaffah agar misi Islam rahmatan lil alamin tercipta.
HTI berislam secara kaffah tetapi lebih menonjolkan siyasah. Mereka cenderung membaca Islam sebagai kepentingan politik. Mereka tidak bisa berkontestasi dalam intelektual bidang fikih, akhlak, akidah dan semacamnya. Bagi mereka kepentingan utama Islam yang kaffah adalah terpenuhinya siyasah Islam.
Determinisme politik dalam pemikiran HTI dalam memahami Islam kaffah sangat berbahaya khususnya bagi kalangan generasi muda. Perkembangan intelektual Islam di kalangan generasi muda tumpul karena tersedot untuk memikirkan siyasah. Pengembangan ilmu pengetahuan fikih, filsafat, kebudayaan dan teknologi dilupakan. Bagi mereka generasi emas Islam adalah mereka yang militant dalam gerakan politik Islam.
Islam sejatinya memiliki tradisi intelektual yang kaya yang mendorong penggunaan akal untuk memahami ajaran agama. Pemikiran rasional adalah bagian integral dari Islam, dan mengabaikan aspek ini hanya akan mengurangi kedalaman dan kekayaan ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu, memahami Islam Kaffah harus melibatkan pendekatan yang inklusif dan holistik, yang memadukan wahyu dengan akal.
Doktrin khilafah ala HTI dengan berbalut Islam kaffah sejatinya adalah doktrin yang menumpulkan intelektualitas generasi muslim. Mereka hanya menyedot energi anak muda untuk siyasah semata dan melupakan aspek lain dalam berislam. Islam kaffah yang dikampanyekan HTI sejatinya cara berislam yang memangkah islam yang kaffah.